Sejarah Berdirinya Gereja Katedral Makassar

Pada awalnya keberadaan umat Katolik di Sulawesi Selatan ditandai dengan dipermandikannya dua putera Makassar pada tahun 1537. Akan tetapi belum ada pastor yang menetap di Sulawesi

Barulah pada tahun 1545 tibalah seorang Pastor dan menetap selama 3 tahun dan seringkali melakukan perjalanan ke pedalaman, nama Pastor tersebut adalah Vicente Viegas.

Daerah Sulsera yang merupakan taman yang begitu luas dan subur, dan bersedia menerima bibit sabda Tuhan, tidak jadi dikerjakan karena kekurangan pekerja-pekerjanya. Maka tidak heranlah pada tahun1603, raja Gowa beserta rakyatnya masuk agama Islam, dan diikuti daerah Tello dan Soppeng. Walaupun raja Gowa telah memeluk agama Islam namun ia bersikap toleran sekali terhadap agama Katolik.

Kendala yang dihadapi datang dari pihak kompeni Belanda yang pada 19 Agustus 1660 Makassar terpaksa meletakkan senjata dan dipaksa menandatangani persetujuan di Batavia. Salah satu syaratnya yaitu dalam waktu satu tahun semua orang portugis harus telah meninggalkan Makassar. Dan Di bawah kekuasaan VOC, orang-orang Katolik dipaksa memeluk agama Protestan dan Pastor-Pastornya diusir.

Baru pada tahun 1806 ketika Napoleon mengangkat saudaranya Louis menjadi raja Belanda, Agama Katolik mendapatkan saat kebebasannya di Indonesia. Tidak lama kemudian, pada 10 april 1808, tibalah dua orang pastor di Batavia yang menjadi imam-imam pertama yang diizinkan masuk di Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda.


Pada tahun 1852 Makassar telah dikunjungi oleh seorang pastor dari Batavia, tetapi baru tahun 1892 datanglah seorang pastor untuk menetap di Makassar. Pastor A.Asselberg SJ ditunjuk menjadi pastor Makassar. Inilah awal berdirinya Gereja Hati Yesus Yang Mahakudus Katedral Makassar.


Sumber Buku 100 tahun Gereja Katedral Makassar

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”