PEKAN SUCI & TRIHARI SUCI

Inspirasi Bacaan: 
Kis. 10:34a, 37-43; Kol. 3:1-4; Yoh. 20:1-9
P. Sani Saliwardaya, MSC
Hari Raya Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus

Sejak pertengahan bulan Pebruari yang lalu, tepatnya tgl. 15 Pebruari, kita, umat Katolik, memasuki masa Prapaska. Masa ini sering juga dikenal dengan nama masa Pertobatan, atau masa Retret Agung umat beriman. Pada masa Prapaska ini, kita umat beriman, diajak untuk merenungkan kembali masa penuh rahmat, di mana Allah bertindak untuk menyelamatkan umat-Nya. Selama 40 hari umat beriman bersama-sama merenung dan mensyukuri pelbagai tindakan keselamatan yang ditawarkan oleh Allah sendiri. Dalam tradisi Kiab Suci, kurun waktu 40 (40 tahun atau 40 hari) merupakan masa penuh perjuangan tetapi serentak masa penuh rahmat karena kehadiran dan penyertaan Tuhan. Kisah perjalanan bangsa Israel di Padang Gurun yang berlangsung selama 40 tahun, lalu kisah pencobaan Yesus di Padang Gurun selama 40 hari 40 malam, merupakan saat-saat perjuangan dan penuh rahmat. 

Dalam kurun waktu Prapaska itu, kita diajak untuk menyiapkan hati, pikiran, budi, dan tenaga, agar dapat menerima tawaran keselamatan Allah. Selama 40 hari, kita bersama-sama melaksanakan Retret Agung; kita diajak untuk “mengundurkan diri” dari kegiatan dan kebiasaan harian kita, agar dapat mempersiapkan diri secara lebih baik dari biasanya. Pertobatan adalah ungkapan yang tepat untuk usaha persiapan hati, pikiran, budi, dan tenaga tersebut. Puncak dari Retret Agung kita itu adalah Pekan Suci.

Pekan Suci merupakan Masa Khusus, di mana kita diajak untuk lebih memusatkan perhatian kita pada tindakan keselamatan Allah yang dinyatakan dalam hidup, karya, dan tindakan Yesus Kristus, Putra Allah yang Tunggal.

Pekan Suci diawali dengan Perayaan Meriah hari MInggu Palma. Liturgi pada hari MInggu Palma terasa “mendua”, karena diawali dengan Perarakan Syukur dan Kegembiraan menyambut Yesus yang memasuki kota Yerusalem, tetapi kemudian dilanjutkan dengan Kisah Sengsara-Nya. Liturgi yang nampaknya bernuansa “ganda” ini mau menekankan bahwa Yesus, yang memasuki Yerusalem dan disambut bagaikan seorang Raja, seorang Pahlawan, adalah juga seorang yang mau dan rela menderita demi kebenaran dan kesetiaan. Yesus adalah seorang Raja yang tidak mengorbankan kebenaran demi kekuasaan, melainkan mau mengorbankan Diri-Nya demi kebenaran dan kesetiaan. Makna Perayaan Minggu Palma ini dipertegas lagi dalam Perayaan Trihari Suci, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci, yang menjadi inti dari Pekan Suci.

Pada Hari Kamis Putih, kita umat beriman, mengenangkan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir Yesus bersama murid-murid-Nya, sebelum Dia diserahkan untuk didera dan disalibkan. Hal yang sangat menarik dalam peristiwa ini adalah kisah pembasuhan kaki. Dalam tradisi Yahudi memang ada ritual pembasuhan kaki untuk semua orang yang menghadiri pesta Perjamuan Paska sebagai simbol membersihkan diri. Biasanya setiap orang membasuh kakinya masing-masing sebelum memasuki ruang perjamuan. Hanya orang-orang penting, misalnya para tetua (orang yang dituakan), para guru, yang kakinya dibasuh oleh para budak sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan. 

Ada yang sangat berbeda dalam kisah Perjamuan Terakhir Yesus. Pembasuhan kaki dilaksanakan dipertengahan perjamuan, yakni sebelum mereka makan; dan yang membasuh bukannya para budak, melainkan Yesus sendiri. Yesus yang adalah guru, Dialah yang membasuh kaki para murid-Nya. Upacara pembasuhan kaki yang dilaksanakan oleh Yesus kiranya tidak menunjuk pada ritual “pembersihan diri”, tetapi terlebih pada “penghargaan dan keteladanan”. Yesus, yang “datang dari Allah dan kembali kepada Allah” (Yoh.13:3), tahu bahwa “saat-Nya sudah tiba untuk beralih dri dunia ini kepada Bapa” (Yoh. 13:1). Pada saat perjamuan malam, “Dia menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatnya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yoh. 13:4-5). Kisah pembasuhan ini mau menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh mengasihi mereka sampai pada kesudahan-Nya (bdk. Yoh. 13:1b). Melalui pembasuhan kaki, Yesus hendak menghargai para murid-Nya sebagai orang-orang terhormat; Yesus hendak mengangkat mereka dan menyadarkan mereka bahwa mereka sama seperti Yesus yang “datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah”. 

Melalui pembasuhan kaki, Yesus juga mengajak para murid-Nya untuk meneladan Dia, yakni saling membasuh kaki (bdk. Yoh. 13:13-15). Yesus mengajak mereka untuk saling mengingatkan akan martabat mereka; untuk saling meneguhkan dan mendukung agar mereka senantiasa sadar akan “asal dan tujuan” hidup mereka, yakni saling mengasihi sebagaimana Yesus sendiri telah mengasihi mereka sampai tuntas.

Mengasihi sampai tuntas karena menyadari “asal dan tujuan” hidup sebagai “yang datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” bukanlah suatu pilihan cara hidup yang gampang. Pilihan hidup dalam kebenaran dan kesetiaan karena Kasih Ilahi ini akan menghadapi banyak tantangan dan perjuangan, baik dari diri sendiri maupun dari luar diri sendiri. Perjuangan untuk hidup dalam Kasih Ilahi ini senantiasa menghadapi resiko “kematian”, dalam arti, entah kita harus “mematikan” kepentingan-kepentingan diri sendiri yang menghalangi pelaksanaan tindakan Kasih Ilahi itu, entah kita “dimatikan” (dihalang-halangi / dihambat) oleh orang lain ketika kita hendak melakukan tindakan Kasih Ilahi itu. Perjuangan untuk hidup dalam Kasih Ilahi yang senantiasa mengandung resiko “kematian” itulah yang kita kenangkan dalam Peringatan Sengsara dan Wafat Tuhan, pada hari Jumat Agung. Jalan Salib yang ditempuh oleh Yesus bukanlah sekedar Jalan Penderitaan (Via Dolorosa), melainkan Jalan Cinta Kasih (Via Amore) yang dipilih-Nya dengan bebas dan rela meskipun di sana ada tantangan dan perjuangan, meskipun di sana ada kesulitan dan hambatan. “Ia adalah Anak. Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang diderita-Nya” (Ibr. 5:8a).

Karena ketaatan-Nya terhadap Kasih Ilahi yang menyelamatkan itulah, Yesus telah dibangkitkan Allah, Bapa-Nya (bkd. Kis. 10:40). Kebangkitan Yesus bukanlah Kebangkitan untuk keselamatan Diri-Nya sendiri, tetapi untuk seluruh bangsa (bdk. Kis. 40:42). Di dalam Kebangkitan-Nya, semua orang diberi tawaran dan mendapatkan kesempatan bukan saja untuk mengalami Kasih Ilahi di dalam Kristus tetapi, sebagaimana para rasul-Nya yang mengalami penampakan Kebangkitan-Nya, juga untuk menjadi saksi-saksi Kasih Ilahi itu. Dengan kata lain, semua orang mendapatkan tawaran dan kesempatan untuk mewartakan Kasih Ilahi kepada sesamanya. Inilah makna Perayaan Agung Sabtu Suci, Malam Yesus dibangkitkan dari antara orang mati.

Perayaan liturgi Trihari Suci hendak mengajak kita menyadari kembali betapa berharganya kita masing-masing di Mata Allah; betapa kita dikasihi bukan dengan kasih manusiawi, melainkan dengan Kasih Ilahi; betapa Allah, di dalam dan melalui Yesus Kristus, senantiasa mengharapkan kita sadar dan ingat, bahwa “engkaulah Anak-Ku”. Pesta Paska adalah Pesta Keselamatan kita; Pesta kita diselamatkan. 

Marilah kita jangan sia-siakan martabat mulia kita ini. SELAMAT PESTA PASKA. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”