Hari RayaTritunggal Mahakudus


Pada hari ini Gereja mengundang kita untuk memeditasikan misteri Tritunggal Mahakudus dan rencana agung Allah Tritunggal Mahakudus bagi kita sejak semula. Hakekat dari rencana ini adalah bahwa dari sejak kekal Allah telah menginginkan sebuah umat yang akan ikut ambil bagian dalam kehidupan dan kasih-Nya. Walaupun dosa masuk ke dalam dunia sejak awal-awal kemanusiaan, yaitu ketika Adam dan Hawa menyalahgunakan kebebasan mereka dan karenanya kehilangan keintiman kasih Allah, rencana abadi Allah tetap berlaku. Hari Raya Tritunggal Mahakudus ini adalah satu dari sedikit hari-raya/pesta yang didedikasikan kepada sebuah doktrin dan bukannya suatu peristiwa keselamatan. Perayaan ini diawali pada abad pertengahan, di mana ditekankan bahwa hanya ada satu Allah, karena Dia hanya memiliki satu kodrat ilahi; namun ada tiga pribadi.  
Orang-orang Yahudi mempunyai sebuah pernyataan iman-kepercayaan fundamental, yaitu “Shema”: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN (YHWH) itu Allah kita, YHWH itu esa! Kasihilah YHWH, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:4-5). Untuk mendapatkan ide bagaimana orang Israel harus melakukannya, maka lanjutkanlah bacaan anda sampai dengan ayat ke-7. Bagi mereka yang mendoakan Ibadat Harian, kita tahu bahwa Ul 6:4-7 ini adalah bacaan singkat dari Ibadat Penutup sesudah Ibadat Sore I hari Minggu (Sabtu malam). Apabila kita melanjutkan lagi membacanya sampai dengan Ul 6:9, maka lebih jelas lagi apa yang dilakukan oleh orang Yahudi sampai hari ini berkaitan dengan kepercayaan monotheis mereka.  

Salah satu tugas paling penting dari para nabi adalah membela monotheisme dan penyembahan yang murni. Kalau tidak demikian halnya, maka orang-orang Yahudi akan menyembah banyak dewa sebagaimana dipraktekkan oleh bangsa-bangsa di sekeliling mereka. Dengan demikian jelaslah mengapa Perjanjian Lama tidak berbicara secara eksplisit tentang Putera (Anak) atau Roh Kudus. Namun demikian, secara implisit ada petunjuk tentang Firman (Sabda) Ilahi dalam Perjanjian Lama, teristimewa dalam kitab-kitab kebijaksanaan, yang dikatakan ada di sisi Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, yang turun ke bumi dan mencari tempat kediaman di tengah-tengah umat-Nya, mengundang mereka ke perjamuan pesta dan untuk mendengarkan sabda-Nya. Roh Kudus diinsinuasikan oleh deskripsi tentang nafas kehidupan penuh kuasa yang diciptakan-Nya, memberikan kepada manusia nafas kehidupan (Kej 2:7) dan menginspirasikan para nabi sehingga mereka penuh dengan Roh-Nya. YHWH dalam Perjanjian Lama bukanlah “Pribadi Pertama” dalam Tritunggal Mahakudus seperti yang kita kenal, melainkan Allah yang mempunyai keberadaan-Nya sendiri, keluar sendiri dengan komunikasi-diri-Nya sendiri dst. Singkatnya, tidak ada embel-embel lain lagi. 

Allah, teristimewa Allah Bapa, itu penuh belas kasihan. Ia dinamis, tidak statis dan Ia tidak kekurangan sesuatu pun pada diri-Nya. Sebagai Allah Ia sempurna tanpa batas. Namun Ia memilih orang-orang Yahudi sebagai umat-Nya, dan Ia ingin menjadi Allah mereka. Akan tetapi kemudian orang-orang Israel mengingkari perjanjian mereka dengan Allah di Sinai dahulu, walaupun mereka mengetahui bahwa Allah mereka itu adalah ‘seorang’ Allah yang pencemburu, yang tidak dapat mentolerir dewa atau ilah lain di samping diri-Nya (Kel 20:5 dsj.). Namun Musa mengetahui benar bahwa “YHWH adalah Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (lihat Kel 34:6). Allah tidaklah seperti kita: pemarah, pendendam dst. Kesetiaan-Nya itu kekal-abadi, walaupun kita sendiri tidak setia. Gambaran yang sama tentang Bapa yang penuh belas kasihan itu kita temukan juga dalam bacaan Injil hari ini: “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan supaya dunia diselamatkan melalui Dia” (Yoh 3:16-17). 

Allah Bapa menerima kita sebagaimana apa adanya kita. Dia selalu memandang apa yang baik dalam diri kita dan Ia tidak pernah berputus asa, bahkan ketika kita sendiri berada dalam keadaan berputus asa. Dia tetap menghargai kita dan mengasihi kita, bahkan ketika kita berada dalam keadaan yang paling rendah dan hina-dina sekalipun. Allah Bapa ingin agar kita memiliki hidup ilahi-Nya sendiri dan mengenali hidup ilahi itu dalam diri kita. Dalam perumpamaan “Anak yang hilang” (Luk 15:11-32) sang bapa bahkan tidak memberi kesempatan anaknya yang bungsu itu mengucapkan permohonan maafnya: “Aku tidak layak lagi disebut anak bapa” (Luk 15:19). Anak bungsu itu adalah anaknya dan tetap anaknya, apapun yang telah dilakukannya. 

Bapa surgawi adalah Allah yang senantiasa berkomunikasi, yang selalu mencari kontak. Selama kita tetap berkomunikasi dengan-Nya, maka semua akan baik-baik saja. Putera senantiasa mendengarkan Bapa dan melakukan kehendak-Nya: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34). Adalah kehendak Bapa untuk mengutus Putera-Nya yang tunggal ke dunia sehingga setiap orang yang percaya kepada Putera akan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16).

Sementara Ia mendengarkan Bapa-Nya, melakukan kehendak-Nya, Putera berbicara kepada kita apa yang difirmankan Bapa kepada-Nya. Tergantung kepada kita, apakah kita menerima pesan-Nya dan dengan demikian memperoleh kehidupan kekal sekarang juga atau kalau kita mengeraskan hati kita, menolak pesan Allah, jadi telah berada di bawah hukuman. Putera tidak menghukum seorang pun. Yang diinginkan-Nya hanyalah memberikan anugerah/rahmat-Nya, kehidupan kekal, yang hanya dimungkinkan oleh ketaatan-Nya yang total-lengkap kepada Bapa. Memang dalam bacaan Injil ini Roh Kudus tidak disebutkan secara eksplisit, namun jelas bahwa Roh Kuduslah yang memberikan keterbukaan seseorang akan sabda Putera. 

Kasih timbal-balik antara Bapa dan Putera adalah Roh Kudus. Jadi, Allah Tritunggal Mahakudus dapat digambarkan sebagai sebuah komunitas yang terdiri dari tiga pribadi, dalam komunitas mana ada kasih yang sempurna. Jadi dalam Allah ada kasih yang sempurna, atau kebersamaan yang sempurna, suatu persekutuan (Yunani: koinonia) yang sempurna. 

Semua kebersamaan manusiawi (human togetherness) hanya dapat bersumber dan mengambil contoh dari koinonia Tritunggal Mahakudus, dan Roh Kudus secara khusus yang membuat hidup semua kebersamaan. Berkat yang ditulis Santo Paulus pada akhir bacaan kedua hari ini berbunyi sebagai berikut: “Anugerah Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”  (2Kor 13:13). Kita lihat di sini bahwa “kasih” itu teristimewa dipertalikan dengan Bapa, “anugerah” (karunia; rahmat) dipertalikan dengan Yesus Kristus (Putera, Anak) dan “persekutuan” dipertalikan dengan Roh Kudus. Kasih atau belas kasihan (mercy; kerahiman) Bapa ini digambarkan dalam bacaan pertama hari ini, anugerah Yesus Kristus teristimewa dalam Injil dan persekutuan Roh Kudus dalam bacaan kedua. 

Selama umat di Korintus mau membuka diri bagi dorongan Roh Kudus, maka akan ada pengharapan akan damai sejahtera dan keharmonisan (sehati sepikir) yang dapat diekspresikan secara eksternal oleh mereka dalam wujud ciuman kudus satu sama lain (lihat 2Kor 13:11-12). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”