KASIH : BELA RASA DAN BELA DERITA


Hari Minggu Paskah VI
P. Sani Saliwardaya, MSC
Sumber Inspirasi: Kis. 10:25-26, 34-35, 44-48; 1Yoh. 4:7-10; Yoh. 15:9-17

Dalam amanat perpisahan menjelang akhir hidup-Nya, Yesus meninggalkan pesan kepada para murid-Nya agar saling mengasihi, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu” (ay. 12). Perintah Yesus untuk saling mengasihi bisa dilaksanakan dengan pelbagai cara. Meskipun ada banyak cara untuk mengasihi, Yesus memberikan suatu tolok ukur kasih yang dimaksukan-Nya, yakni “seperti Aku telah mengasihi kamu”. 

Bagaimana Yesus telah mengasihi para murid-Nya? Yesus telah memberikan nyawa-Nya untuk mereka, dan menganggap mereka sahabat. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (ay. 13). Kalimat ini berarti bahwa Yesus mau berkorban untuk mereka karena mereka dianggap sebagai sahabat-sahabat-Nya, meskipun mereka belum sepenuhnya memahami siapakah Yesus itu. Bagi Yesus, seorang dianggap sebagai sahabat bukan karena orang itu sungguh-sungguh memahami dan mengerti Dia, tetapi karena dia mau melakukan tindakan kasih (bdk. ay.14). Dengan cara-Nya mengasihi itu, Yesus mau hidup dalam bela rasa dan bela derita. Dia mau ikut merasakan pengalaman kemanusiaan para murid-Nya meskipun Dia sendiri harus mengalami kesulitan dan tantangan, bahkan penderitaan dan kematian.

Yesus bisa mengasihi dengan cara demikian hebatnya karena Dia sungguh-sungguh hidup dalam Kasih Bapa-Nya, “seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu” (ay.9). Pengalaman akan kasih Allah Bapa-Nya itulah yang menjadi pendorong, penggerak bagi Yesus untuk mengasihi orang lain secara total. Yesus mengharapkan para pengikut-Nya memiliki pengalaman kasih Allah yang sama, karena itu Ia mengajak mereka untuk tetap tinggal di dalam kasih-Nya itu (bdk. ay. 9), agar pada akhirnya merekapun dimampukan untuk saling mengasihi: untuk saling berbela rasa dan berbela derita.

Ada suatu cerita menarik dari India yang bisa menjadi inspirasi hidup bagi kita.
Ada seorang anak perempuan bernama Sindu. Dia sangat tidak menyukai curd rice  (nasi khas India, yakni nasi yang dimasak dengan susu asam atau yogurt). Ayah, ibu, serta neneknya sudah berkali-kali memaksanya agar makan curd rice tapi tidak berhasil. Setiap kali disuruh makan, Sindu selalu menangis. Sang ibu dan neneknya sudah putus asa membujuknya. Pada suatu hari, sang ayah mencoba membujuk SIndu, katanya: “Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak makan, nanti ibu dan nenekmu akan marah-marah terus dan berteriak-teriak kepada ayah”. Sambil menangis dan mengusap air matanya, SIndu menjawab : “Ayah….aku akan makan curd rice bukan hanya beberapa sendok. Semuanya akan aku makan. Tapi aku punya satu permintaan. Apakah ayah berjanji untuk memenuhi permintaanku itu?” “Oh pasti sayang”, jawab ayahnya spontan. “Betulkah ayah”, tanya SIndu sekali lagi. “Ya, pasti”, jawab ayahnya. “Bahkan ibu dan nenekmupun akan menyetujui permintaanmu itu. Bukankah begitu, istriku dan ibuku,” sambung ayahnya sambil melihat kepada istri dan ibunya yang berdiri disampingnya. “Ya, kami berjanji”, jawab ibu dan nenek SIndu serentak. Kemudian, dengan pelan-pelan dan kelihatan sangat menderita seperti mau muntah, Sindu menghabiskan satu mangkok curd rice itu di hadapan mereka. Setelah menghabiskan makanannya, ayahnya bertanya kepadanya, “Sekarang apakah permintaanmu itu?”. Semua mata tertuju kepada SIndu. Kemudian dengan jelas dan tegas SIndu menjawab, “Minggu depan, aku ingin mencukur gundul kepalaku!”. Mereka semua terkejut dan terbelalak. “TIdak mungkin!”, teriak ibu dan neneknya. “Tidak ada seorangpun anak perempuan India yang boleh mencukur gundul kepalanya. Ini akan sangat memalukan keluarga. Ini suatu permintaan gila dan tidak masuk akal”, sambung neneknya. Sang ayahpun membujuk SIndu agar meminta yang lainnya. “Tidak ayah, aku tidak mempunyai keinginan yang lain selain mencukur gundul kepalaku”, jawab SIndu. Mereka berusaha membujuk SIndu untuk menghentikan permintaannya dan menggantinya dengan yang lain. Tetapi SIndu tetap pada pendiriannya. Setelah melalui pertengkaran hebat antara ayah, ibu, dan nenek, akhirnya sang ayah memutuskan bahwa janji harus ditepati. “Sindu, pemintaanmu akan kami penuhi meskipun dengan hati berat”, kata ayahnya. 
Ketika mengantarkan Sindu sekolah, setelah dibotaki kepalanya, ayahnya merasa sangat iba melihat anaknya berjalan di antara teman-teman perempuannya yang berambut panjang dan ikal.  Ketika hendak beranjak dari tempatnya, tiba-tiba dia melihat seorang anak laki-laki keluar dari mobil dan berteriak, “Sindu, tunggu saya!”. Yang mengejutkan hatinya, ternyata anak laki-laki itu juga berkepala botak, gundul. Sang ayah memandangi anak perempuannya yang berjalan sambil bercerita ria dengan anak laki-laki berkepala gundul itu.

Tiba-tiba di sampingnya berdiri seorang ibu sambil berkata, “Anak anda, SIndu, benar-benar hebat. Anak laki-laki yang berjalan bersama Sindu, adalah anak tunggal saya, namanya Harish. Dia menderita kanker leukemia”. Wanita itu berhenti bercerita sejenak sambil menyeka air matanya yang mulai meleleh di pipinya. Kemudian dia melanjutkan kisahnya, “Bulan lalu, Harish tidak masuk sekolah. Karena chemo therapy, kepalanya menjadi botak. Dia tidak mau pergi ke sekolah karena takut diejek teman-teman sekelasnya. Minggu yang lalu SIndu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah dan ikal itu demi Harish. Tuan dan istri tuan sungguh-sungguh diberkati Tuhan karena mempunyai anak perempuan yang berhati mulia”.

Mendengar itu, sang ayah terpaku dan terharu. Tak disangka bahwa anak perempuannya mau berkorban demi temannya, bukan hanya mengorbankan rambutnya saja tetapi juga mengorbankan ketidaksukaannya makan curd rice.  Dalam hati sang ayah berkota, “Malaikat kecilku….tolong ajari aku arti sebuah kasih”. (diambil dan diringkas dari kisah 100 Touching Stories)
Kasih adalah sikap mau dan rela untuk berbela rasa dan berbela derita. 

Sikap mengandalkan perasaan dan pendapat sendiri serta memberi perhatian hanya pada kesulitan dan tantangan hidup sendiri bertentangan dengan kasih. St. Fransiskus dari Asisi dalam doanya berkata demikian, “Tuhan, emoga aku lebih ingin menghibur daripada dihibur, memahami daripada dipahami, mencintai daripada dicintai”. Semoga doa ini juga menjadi doa kita agar dapat saling berbela rasa dan berbela derita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”