Kekudusan dan Pelayanan

Hari Minggu Paskah VII
P. Paulus Tongli, Pr
Sumber Inspirasi: Yoh 17:11-19


Ada dua gejala yang mewarnai kecenderungan bertindak mayoritas orang yang sering kita jumpai. Gejala pertama biasa disebut gejala formalisme agama, yaitu suatu kecenderungan untuk melihat agama sebagai suatu rangkaian tindakan kultis untuk pengudusan diri terpisah dari sikap sosial. Pengudusan pribadi diperoleh melalui ibadat-ibadat kultis berupa doa dan persembahan. Gejala lain adalah yang biasa disebut relativisme agama, yaitu suatu kecenderungan untuk melihat agama sebagai hal yang sekunder berhadapan dengan sikap sosial. Yang terpenting dalam gejala kedua ini adalah sikap sosial, dengan prinsip “karyaku adalah doaku”. Sabda Yesus di dalam bacaan injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan pemahaman kita akan agama yang benar, atau lebih tepat lagi iman yang benar. Dalam renungan ini saya ingin mengajak kita untuk memusatkan perhatian pada ayat ini: “aku menguduskan diriKu bagi mereka supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran.” (Yoh 17:19). Penyerahan diri dalam pelayanan tanpa melupakan pentingnya pengudusan pribadi merupakan dua sisi dari satu koin agama yang sejati. Kutipan ini terdiri dari 3 bagian: (1) bagi mereka (2) Aku menguduskan diriku, dan (3) supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran. 

Bagian (1) “bagi mereka”: Yesus menyerahkan diri secara total demi keselamatan orang lain. Ia menunjukkan tujuan hidupnya dengan mengatakan “Aku datang agar mereka memiliki hidup, dan memilikinya dalam segala kelimpahannya” (Yoh 10:10). Yesus memiliki kuasa yang dahsyat, tetapi ia menggunakan kuasa itu lebih untuk menolong orang lain daripada untuk kepentingannya sendiri. Ketika orang lapar di tempat yang terpencil, ia memperbanyak roti untuk memberi mereka makan, tetapi ketika ia sendiri lapar di padang gurun, ia tidak ingin menggunakan kuasa-Nya untuk mengubah batu menjadi roti bagi dirinya sendiri. Ketika ia lelah dan membutuhkan istirahat, ia naik ke dalam perahu dan menuju ke tempat yang sunyi, tetapi ketika ia tiba di sana, ia menemukan begitu banyak orang yang telah tiba lebih dahulu untuk mencari Dia. Melihat begitu banyak orang yang seperti kawanan domba tanpa gembala, ia dengan segera mengubah rencana-Nya untuk beristirahat dan mulai melayani mereka. Perhatian untuk yang lain merupakan ciri hidup dan pelayanan-Nya. 

Pemahaman bahwa injil menuntut setiap orang Kristen aktif mengusahakan kesejahteraan material dan spiritual mereka yang kurang beruntung telah membangkitkan gerakan yang biasa disebut gerakan injil sosial atau yang di Amerika Latin muncul dalam bentuk teologi pembebasan (meskipun istilah ini sedikit bernada politis). Mereka yang terlibat dalam usaha untuk mengikis kemiskinan dan penderitaan di dalam lingkungannya memantulkan roh belaskasihan dan pengingkaran diri di dalam diri sesama, sebagaimana yang mereka lihat dan terima dari Yesus. Bagian (1) pada pernyataan Yesus ini menekankan bahwa keprihatinan akan orang lain merupakan inti dari kabar gembira Kristus. 

Bagian (2): “Aku menguduskan diri-Ku” menekankan bahwa pengudusan diri (pribadi) juga merupakan unsur penting di dalam hidup kristiani dan menjadi dasar bagi keprihatinan akan orang lain. Yesus selalu hadir bagi orang lain, namun Ia tidak lupa untuk menguduskan diri sendiri. Ia senantiasa menjalin hubungan yang akrab dengan Bapa, yang mengutus-Nya. Berulangkali diungkapkan bahwa Ia mencari tempat yang sunyi untuk berdoa (Mrk 1:35. 6:31 dll), atau semalam-malaman Ia berdoa kepada Bapa (Luk 6:12). Memang ada bahaya, bahwa orang begitu terlibat di dalam pelayanan kepada orang lain, tetapi lupa memperhatikan hidup pribadi dan persatuan batin dengan Allah (penyucian diri). Bagaimana mungkin orang melakukan pekerjaan Tuhan tetapi melupakan Tuhan dari pekerjaan? Orang yang secara aktif membantu orang lain harus juga aktif memelihara hubungan batiniah dengan Allah demi pengudusan diri. Bila tidak demikian, orang akan tersesat di dalam hutan aktivitas. Injil sosial dalam arti yang benar haruslah berdasarkan injil personal akan keintiman dengan Tuhan. 

Dan kini bila kita memperhatikan lingkungan sekitar kita, apa gerangan yang kita lihat? Kita melihat begitu banyak orang Kristen yang begitu tekun mengusahakan penyelamatan dan pengudusan pribadi tetapi lupa untuk mewujudkan pengudusan pribadi itu di dalam keprihatinan dan perhatian kepada mereka yang kurang beruntung. Orang Kristen yang demikian hanya mengusahakan injil pribadi dan menyangkal injil social. Mereka hanya melihat satu sisi dari kepingan mata uang. Kita juga mengenal orang-orang yang begitu terlibat di dalam usaha untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian social tetapi menganggap doa, ke gereja dan aktivitas kerohanian lainnya sebagai hal membuang-buang waktu. Orang Kristen yang demikian hanya mengusahakan injil sosial tetapi mengabaikan injil pribadi. 

Yang mana dari keduanya yang lebih baik, injil sosial atau injil pribadi? Tidak ada satu pun yang lebih baik bila orang hanya memilih salah satu dan mengabaikan yang lainnya. Dalam hal ini bukanlah perkara pilihan entah yang satu atau yang lainnya. Di sini tidak ada pilihan antara keduanya, tetapi yang satu mengandaikan yang lainnya. Jadi bagi kita orang yang rajin atau secara teratur beribadat, pergi ke gereja, bahaya terdapat pada terlalu memusatkan diri pada usaha untuk mencapai keselamatan dan kekudusan diri sendiri sehingga lupa untuk prihatin akan yang lain. Renungkanlah kata-kata Henry van Dyke berikut ini: Orang yang berjalan sendirian mencari surga untuk menyelamatkan jiwanya, mungkin hanya akan sibuk mencari jejak. Ia ada di dalam bahaya tidak sampai pada tujuan; tetapi orang yang berjalan di dalam cinta mungkin akan berjalan jauh, 

tetapi Allah akan mengantar dia ke tempat orang-orang terberkati. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”