HIDUP EKARISTIS : DARI ALTAR MENUJU LATAR

Hari Raya  Tubuh & Darah
P. Sani Saliwardaya, MSC
Kel. 24:3-8; Ibr. 9:11-18; Mrk. 14:12-16, 22-26

Hari ini, bersama seluruh Gereja, kita merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Hari Raya ini senantiasa dikaitkan dengan Perayaan Ekaristi: Perayaan Syukur Agung yang dengannya Gereja memperingati dan mengenang Yesus Kristus yang telah mempersembahkan hidup-Nya demi keselamatan umat manusia. Perayaan Ekaristi itu sendiri bisa dikatakan merupakan penyempurnaan dari Perayaan Syukur bangsa Israel, Hari Raya Roti Tak Beragi.

Dalam Injil MInggu ini dikatakan demikian. “Pada hari pertama dari Hari Raya Roti Tak Beragi, pada waktu orang menyembelih domba Paskah, murid-murid berkata kepada Yesus, ‘Ke tempat mana Engkau kehendaki kami pergi untuk mempersiapkan perjamuan Paskah bagi-Mu?”.

Hari Raya Roti Tak Beragi asal usulnya merupakan Hari Raya yang berhubungan dengan dunia pertanian, dan berbeda dengan Hari Raya Paskah. Roti Tak Beragi itu sendiri, yang dipandang sebagai lebih murni daripada roti beragi (bdk. Kel. 34:25; 1Kor.5:7-8), merupakan bahan persembahan yang disiapkan sehari menjelang Paskah untuk memperingati perjamuan orang-orang Yahudi pada malam keluarnya mereka dari Mesir: Malam Pembebasan (bdk. Kel. 12:34-39). Hari Raya Roti Tak Beragi, yang berasal dari dunia pertanian itu dilaksanakan selama tujuh hari, dan selama sepekan itu dipersembahkan korban buah-buah bungaran, artinya hasil buah yang pertama dari lahan pertanian, dan juga kemudian roti tak beragi (bdk. Kel. 12:18; Im. 23:6). Karena hari pertama pekan perayaan Roti Tak Beragi itu bertepatan dengan Paskah, maka kemudian kedua perayaan itu disamakan. (bdk. Xavier Lçon-Dufour,  Ensiklopedi Perjanjian Baru, hal. 475).

Makna tentang darah persembahan dapat kita temukan dalam bacaan I MInggu ini. 
Darah tidak boleh dimakan bersama dengan daging persembahan, karena darah adalah simbol kehidupan, dan kehidupan itu adalah milik Allah. Darah binatang persembahan yang dipercikan atau disiramkan ke atas mezbah persembahan menjadikan persembahan itu mempunyai nilai pendamaian atau pengampunan yang terikat dalam perjanjian (bdk. Kel. 24:8, Ensiklopedi Perjanjian Baru, hal. 202).

Ketika dalam perjamuan malam Paskah bersama para murid-Nya, Yesus mengambil roti (tak beragi), mengucap berkat, membagi-bagi dan kemudian  memberikannya kepada para murid-Nya, Yesus berkata, “Ambillah, inilah Tubuh-Ku”. Kemudian, ketika mengambil cawan, mengucap syukur dan memberikannya kepada para murid, Yesus berkata, “Inilah Darah-Ku, darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang”.  Dengan Sabda-Nya ini, Yesus hendak mengatakan bahwa Pembebasan dan Pendamaian yang terikat dalam Perjanjian dengan Allah Bapa telah beralih kepada Diri-Nya (bdk. Ibr. 9:13-14; 10:4; Rm. 3:25; Mat. 26:28). 

Dalam perjamuan malam Paskah itu, Yesus serentak bertindak sebagai Imam yang mempersembahkan Korban, tetapi serentak Dia adalah Korban itu sendiri. Roti Tak Beragi dan Anggur yang dipersembahkan dalam perjamuan malam Paskah itu kemudian menjadi ungkapan “kehadiran nyata”  Diri Yesus sendiri.

Perjamuan malam Paskah yang dilaksanakan oleh Yesus menjelang wafat-Nya, Perjamuan Malam Terakhir, merupakan model dari setiap Perayaan Ekaristi. Karena itu, setiap Perayaan Ekaristi merupakan  suatu peringatan dan kenangan akan peristiwa Pembebasan dan Pendamaian yang dilaksanakan oleh Yesus. Dan agar perayaan tersebut bisa membawa orang pada suatu kenangan masa lampau yang diperingati dan dihadirkan saat ini  secara berkesinambungan maka disusunlah suatu liturgi, suatu tata cara dan upacara peringatan. Dengan demikian, empat bagian besar dalam Liturgi Ekaristi Gereja Katolik, yakni Ritus Pembuka, Liturgi Sabda, Liturgi Ekariti, dan Ritus Penutup, merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipindah-tempatkan. 

Dalam Ritus Pembuka, kita diajak untuk membersihkan budi dan hati serta memuliakan Tuhan, agar kita layak untuk mendengarkan, menerima, serta meresapkan sabda / firman Allah. Dalam Liturgi Sabda, kita diajak untuk mendengarkan dan merenungkan Sabda Allah yang memberikan konteks sejarah iman (kenangan masa lalu dalam iman), yakni tindakan Allah untuk membebaskan dan menganugerahkan kedamaian kepada bangsa terpilih (bacaan dari Perjanjian Lama) yang kemudian memuncak dalam diri Yesus Kristus (bacaan dari Perjanjian Baru). Dalam Liturgi Ekaristi kita diajak untuk memperingati dan menghadirkan kembali peristiwa keselamatan Allah yang mencapai pemenuhannya dalam Diri Yesus Kristus itu dengan merayakan (Doa Syukur Agung) dan menerima Kristus dalam kehidupan kita (Komuni). Dalam Ritus Penutup kita diajak untuk melaksanakan tugas perutusan kita. Setelah menerima berkat perutusan, Imam berkata, “pergilah, kita diutus”. Artinya, bahwa perayaan kenangan dan peringatan keselamatan yang dihadirkan kembali dalam Perayaan Ekaristi di meja Altar semestinya juga kita hadirkan secara kelihatan kepada orang-orang yang kita jumpai di latar (latar adalah bahasa Jawa, yang artinya halaman. Kata latar secara simbolis menunjuk “tempat” di mana terjadi perjumpaan dengan orang-orang lain).

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus yang dirayakan oleh Gereja di seluruh dunia, mengajak kita untuk menghidupi makna Perayaan Ekaristi dan menjadikannya sebagai sumber dan kekuatan kita dalam kehidupan sehari-hari (Hidup Ekaristis).  Hidup Ekaristis dapat kita laksanakan jikalau kita, setelah merayakan Perayaan Ekaristi, memindahkan berkat yang kita terima dari atas Altar dan kemudian membawanya ke latar. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”