ROTI HIDUP


Hari Minggu Biasa XX
Pastor Paulus Tongli, Pr
Inspirasi Bacaan: Yoh. 6:51-58

Kalau Yesus mengajar, Ia selalu memberikan kesan yang menuntut tanggapan. Ia selalu berbicara jelas dan sederhana. Dan apa yang dikatakanNya adalah kebenaran tentang diriNya sendiri. Dalam kutipan bacaan injil hari ini, Yesus mengajar dengan bantuan gambaran tentang roti, makanan. Dalam 4 minggu terakhir ini kita telah mendengar hal yang sama. Yesus menyatakan diriNya sebagai „roti hidup”. Mengapa Yesus memperkenalkan diriNya sebagai roti? 

Bila kita suatu saat mengadakan suatu perjalanan yang cukup panjang, setelah waktu yang cukup lama kita membutuhkan istirahat. Dan bila akhirnya waktu istirahat yang sangat dinantikan itu tiba, dengan lelah tetapi yang disertai rasa gembira kita duduk dan mulai memesan minuman dan makanan untuk mengembalikan tenaga. Karena lapar dan lelah, kadang kita makan lebih lahap dari biasanya, meskipun sebenarnya makanan itu tidak istimewa. Kadang-kadang bahkan makanan yang sederhana terasa lebih enak daripada yang biasanya. Bahkan pernah karena begitu haus saya meminun air dari sumur dalam perjalanan ke sebuah stasi, dan airnya terasa sangat segar dan lebih enak daripada air matang di rumah. Dari mana rasa enak itu? 

Pada saat lapar dan kita harus menanti lama untuk mendapatkan makanan, kita akan lebih menyadari betapa pentingnya makanan. Berbeda dengan orang yang tidak pernah merasa kekurangan makanan, hidup selalu dalam kelimpahan makanan, ia tidak akan pernah menyadari betapa pentingnya setiap sendok nasi. Bila kita harus membawa bekal, kita mempertimbangkan dengan saksama, berapa banyak yang kita akan makan, apa yang perlu kita bawa, dan apa yang sebaiknya ditinggalkan saja di rumah. Kita akan membagi bekal kita dengan baik kepada sesama teman perjalanan. Bila kita tahu bahwa kita tidak dapat dengan mudah menemukan warung makan atau restoran sepanjang perjalanan, kita akan sungguh memperhatikan bekal kita, agar kita sekurang-kurangnya dapat bertahan sepanjang perjalanan itu. Di balik sikap ini tersirat pertanyaan, yang harus kita jawab: apa yang kita butuhkan untuk hidup? 

Pentingnya hidup atau pentingnya makanan?
Kita sering membaca atau mendengar, bahwa kadang dalam suatu peristiwa tertentu ada orang yang terdampar dan menderita, yang tidak dapat menolong diri sendiri dan karenanya sangat bergantung pada orang lain dan harus menunggu lama hingga bantuan datang. Makanan yang tersisa dibagi bersama hingga betul-betul habis. Sering kita mendengar atau membaca tentang nasib saudara-saudara kita yang tertimpa bencana banjir/longsor/gempa bumi/tsunami, di mana makanan sesedikit bagaimana pun yang dibagi menjadi begitu penting untuk hidup. 
Bagi kita yang berkecukupan, pentingnya makanan tidak begitu kita pikirkan, bahkan kadang kita menghindari makanan demi menjaga postur. Tetapi bila kita membayangkan seperti dalam perjalanan yang tadi diceriterakan, atau bepergian dengan kapal laut selama berhari-hari, di mana orang harus antri lama untuk mendapatkan makanan, mungkin kita dapat sedikit membayangkan arti yang mendalam dari makanan. Hanya dengan memahami arti yang dalam tentang makanan itu, kita dapat memahami apa yang  Yesus ingin sampaikan kepada kita. Roti/makanan adalah hidup dan hidup adalah roti/makanan. 

Yesus berkata: Aku adalah roti hidup
Yesus berkata: „Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya”. Dengan ucapan ini Yesus mau mengatakan bahwa kita sungguh membutuhkan Dia sebaimana kita membutuhkan makanan, bahwa Ia bagi kita sangat penting untuk hidup.
Makanan adalah tanda kehidupan. Tetapi karena makanan itu menjadi sangat biasa dalam hidup harian, pentingnya makanan kadang tidak begitu disadari lagi. Bila kita lapar, tanpa banyak pertimbangan dan penjelasan, kita mengambil makanan dan memakannya, karena setiap orang tahu apa itu nasi dan lauknya, atau mie pangsit, dll jenis makanan yang sering kita konsumsi. Persis seperti itu juga Yesus ingin menjadi tanda bagi manusia, bagi setiap saat hidup kita, tanpa banyak penjelasan: mengapa. Justru bila sesuatu begitu jelas dan sederhana, pentinglah untuk mencari dengan lebih tepat, apa yang menjadi maknanya yang terdalam. 
Yesus menghadiahkan dirinya untuk kita dalam rupa roti dan mewartakan kehidupan dalam kepenuhannya. Di dalam setiap perayaan Ekaristi kita bersyukur atas hadiah itu, dan mengungkapkan persetujuan kita akan hal itu setiap kali kita mengatakan „Amin” (ya, memang betul) pada saat penerimaan komuni kudus. Yesus menyerahkan diriNya ke tangan kita, dan dengan itu Ia ingin mempersatukan diriNya dengan kita. Dan kemungkinan untuk mengalami Yesus yang begitu dekat dengan kita dalam wujud makanan selalu ditawarkan setiap hari kepada kita, bukanlah suatu kesempatan yang langka. 
Kamu membutuhkan Aku sebagaimana kamu membutuhkan roti, Aku adalah makanan untuk kalian – demikianlah pernyataan Yesus. Dan bilamana kita membuka tangan kita untuk menerima hosti atau komuni, kita menyatakan: datanglah kepadaku, engkau begitu berharga bagiku, aku ingin hidup dalam persatuan denganMu. 

Berikut beberapa hal untuk kita renungkan: 
· Dari Yesus aku dapat mengalami bahwa aku hidup. Itulah sebabnya di dalam setiap anugerah yang kuterima dan pekerjaan yang kulakukan tersirat pertanyaan: bagaimana aku sendiri dapat menjadi rejaki bagi yang lain? 
· Bila aku maju ke depan gereja dalam Perayaan Ekaristi dan menerima komuni kudus, apakah aku masih tetap menyadari makna penting dan mendalam dari komuni kudus, bahwa dengan itu saya menerima undangan Yesus untuk hidup kristiani, dan bahwa saya menyadari bahwa Yesus begitu penting bagiku? 
· Sebagai orang katolik, apakah aku masih memiliki kerinduan untuk menghadiri misa atau perayaan Ekaristi dan menerima Kristus di dalam komuni kudus? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”