SURGA ADA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU

HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA 
DIANGKAT KE SURGA
Oleh: Pastor Sani Saliwardaya, MSC

Pada tanggal 1- 5 Agustus yang lalu, saya mengikuti Pertemuan Nasional Komisi Kitab Suci yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia (LBI). Pertemuan Nasional ini dihadiri oleh para Dosen Kitab Suci, Ahli Kitab Suci, dan para Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan se Indonesia atau wakilnya. Dalam pertemuan ini, kami, para peserta, lebih banyak mendengarkan masukan-masukan dari para narasumber, baik yang berupa ceramah ilmiah maupun sharing pengalaman mereka. Tema pertemuan kali ini adalah Sabda Allah Dalam Keluarga. Ada 2 narasumber yang memberikan ceramah ilmiahnya berkaitan dengan Peranan Kitab Suci Dan Pewarisan Iman Dalam Keluarga, dan 3 narasumber yang mensharingkan pengalaman mereka berkaitan dengan Bagaimana Kitsb Suci Dihayati Dalam Kehidupan Berkeluarga. 

Salah satu narasumber yang mensharingkan pengalamannya ialah Ustad Miftah, pemimpin Pondok Pesantren dari Bandung. Beliau membawakan tema Peranan Al’Quran Dalam Keluarga Islam. Ada beberapa hal yang menarik dan dapat menjadi insipirasi bagi kita, umat Katolik, untuk direnungkan. Sejak usia dini, anak-anak dari keluarga Islam sudah diperkenalkan pada ayat-ayat Al’Quran, meskipun mereka belum memahami maknanya. Mereka diajak untuk menghafalkan lebih dahulu beberapa ayat-ayat pendek. Dan yang menarik ialah selain belajar dari para Guru Agama (Guru Mengaji), para orang tua, khususnya para ibu, juga mengajarkan ayat-ayat Al’Quran kepada anak-anaknya. Waktu pembelajaran di rumah oleh para ibu dilakukan pada saat hendak makan malam dan saat hendak tidur. 

Ketika ada peserta yang bertanya, “Mengapa harus ibu yang mengajarkan Al’Quran kepada anak-anak?”, pak Ustad menjawab dengan mengutip ayat yang mengatakan bahwa “Surga ada di bawah telapak kaki ibu”. Penjelasan dari ayat ini adalah bahwa jejak-jejak kehidupan seorang ibu harus diteladani karena perjuangan seorang ibu yang tulus ikhlas mengarahkan kepada Surga, yakni kebahagiaan dan kedamaian. Hal ini tampak dalam kegiatan seorang ibu setiap hari. Mulai dari pagi bangun tidur sampai dengan malam menjelang tidur lagi, seorang ibu senantiasa bergerak melaksanakan tugas rumah tangga tanpa mengeluh.

Hari ini, menurut Kalender Liturgi Indonesia, kita bersama-sama merayakan Hari Raya Sta. Perawan Maria Diangkat Ke Surga. 

Banyak kutipan-kutipan dalam Kitab Suci yang menunjukkan bahwa keteladanan Bunda Maria dalam mendidik dan mendampingi Yesus tidak usah diragukan lagi. Ada satu penafsiran bahwa Keluarga Nasareth bukanlah keluarga yang amat sederhana (miskin) secara ekonomis. Profesi Yusuf, suami Maria dan ayah asuh Yesus, sebagai tukang kayu bukanlah profesi kalangan bawah melainkan dari kalangan menengah. Yusuf dan Maria juga termasuk kelompok orang beriman dan menghayati imannya dengan taat. Yusuf senantiasa mentaati bimbingan Allah yang menyatakan kehendak-Nya lewat mimpi (bdk. Mat. 1:20-24; 2:13-14). Mereka juga keluarga yang taat beribadah. Dikatakan dalam Kitab Suci bahwa mereka melaksanakan ibadah peziarahan ke Yerusalem setiap tahun (Luk 2:41). Ketika Yesus terpisah dari keluarga-Nya dan tertinggal di Yerusalem, Maria dan Yusuf kembali ke Yerusalem untuk mencari Yesus dengan menempuh perjalanan yang tidak pendek (bdk. Luk.2:46). Mereka mendapati-Nya sedang bertanya-jawab dengan para alim ulama, dan semua orang takjub dengan jawaban-jawaban Yesus (bdk. Luk. 2:46b-48). 

Fakta di atas memberikan dasar dan alasan bahwa keluarga Nasareth, khususnya Maria, bukan hanya mempunyai iman bagi dirinya sendiri tetapi juga mewariskannya kepada anaknya, Yesus. Mengapa Maria? Karena dalam tradisi Israel pada masa itu, ibu mempunyai tanggung jawab yang cukup besar untuk mendidik dan mendampingi anak-anaknya dalam hal kehidupan etika, moral, dan keagamaan. 

Kalau kita mencoba memahami Surga bukan sebagai tempat tinggal melainkan sebagai suatu situasi kebahagiaan dan kedamaian hidup bersama, baik bersama Allah, sesama dan lingkungan alam ciptaan, maka Hari Raya Sta. Perawan Maria Diangkat Ke Surga dapat kita pahami dengan lebih mudah. Dalam kehidupannya dan sepanjang kehidupannya, Maria menjadikan kebahagiaan dna kedamaian menyeluruh itu sebagai pola hidupnya (bdk. Magnificat Maria Luk. 2:46-55). Semangat Magnificat itu dia ajarkan kepada Yesus dalam sikap hidupnya sehari-hari. Dan setelah Yesus wafat dan bangkit, Maria mendampingi para Rasul Yesus dengan semangat Magnificat yang sama. Maria tidak minta diistimewakan karena dia adalah ibu Tuhan. Dia ada bersama-sama dengan mereka, “bertekun dan berdoa bersama-sama” (Kis.1:14) untuk menantikan kepenuhan janji Yesus mengutus Roh Penghibur.

Dalam diri Maria, ungkapan “Surga ada di bawah telapak kaki ibu” sungguh-sungguh menjadi nyata.

Hari Raya ini mengajak kita, antara lain untuk berrefleksi tentang peranan kita dalam mewariskan iman kita kepada anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Kita berdoa dan berharap agar anak-anak kita juga mengalami kebahagiaan dan kedamaian yang utuh karena keteladanan hidup beriman kita,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”