LANGIT, MATAHARI, BULAN, BINTANG


HARI  MINGGU ADVEN I
Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Inspirasi dari:
(Yer. 33:14-16; 1Tes. 3:12-4:2; Luk. 21:25-28, 34-36)

Mulai Hari Minggu ini, kita, umat Katolik, memasuki masa Adven; suatu masa dalam lingkaran tahun liturgi Gereja, di mana kita memfokuskan diri pada penantian datangnya Sang Messias, Juru Selamat. Dalam masa penantian ini, tema umum liturgi kita, khususnya Injil, adalah berjaga-jaga (suatu sikap batin) dan bagaimana cara berjaga-jaga (suatu tindakan / aksi lahiriah).
Injil Lukas pada Hari Minggu I Adven memberi alasan mengapa kita harus membangun sikap batin untuk berjaga-jaga. “Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan, serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat” (ay. 34). Melalui pemaknaan simbolisasi langit, matahari, bulan, dan bintang yang dilukiskan Lukas, kita bisa menyadari pentingnya membangun sikap batin untuk berjaga-jaga tersebut.
Kedatangan Anak Manusia dalam segala kekuasaan dan kemulian-Nya akan menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan kegoncangan bangsa-bangsa di bumi (ay. 25-27). Apa arti dan maknanya? Baiklah kita memfokuskan diri pada penyebab ketakutan, kecemasan dan kegoncangan itu, yakni “sebab kuasa-kuasa langit akan goncang” (ay. 26b). Dalam tradisi Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, kuasa-kuasa langit adalah matahari, bulan, dan bintang (bdk. Kisah penciptaan matahari, bulan dan bintang pada hari keempat Kej. 1:14-19).
Langit dan segala isinya adalah ciptaan Allah (Kej.1:1) dan kepunyaan Allah (Maz.89:12). Langit sering dipandang sebagai tempat yang tertinggi sehingga dianggap sebagai tempat Tahta Allah (Yes. 66:1),\. Karena itulah, langit menjadi simbol kemuliaan dan keadilan Allah (bdk. Maz. 19:2; 50:6) karena dalam kemuliaan-Nya Allah memerintahkan dengan adil (bdk. Ul.32:36; Maz.135:14; Ayb. 37:23). Dalam kenyataannya, matahari adalah sumber terang, kehangatan, kehidupan, sehingga dalam Kitab Suci matahari menjadi simbol kehangatan cinta kasih dan kebenaran Allah yang menghidupkan dan yang tidak membeda-bedakan manusia (bdk. Mat.5:45). Orang yang mengasihi dan menyatakan kebenaran juga sering diibaratkan dengan sinar matahari (bdk. Mat. 13:43). Bulan adalah simbol kedamaian dan kesetiaan (bdk. Maz. 89:38). Kedamaian dan kesetiaan merupakan pantulan dari kasih dan kebenaran Allah, sebagaimana bulan memantulkan cahaya matahari. Dalam tradisi Kitab Suci, bintang tidak pernah dilepaskan dari matahari dan bulan (bdk. Kej. 1:16; 37:9; Maz. 8:4). Bersama dengan bulan, bintang adalah pantulan cahaya matahari yang menerangi kegelapan malam. Karena itu, bintang menjadi simbol dari tuntunan dan bimbingan dari kegelapan yang mengarahkan orang pada cahaya cinta kasih, kebenaran, kedamaian dan kesetiaan (bdk. kisah Orang Majus yang mencari Yesus dalam bimbingan cahaya bintang, Mat. 2:2).
Dari makna simbolisasi langit, matahari bulan dan bintang di atas, kiranya kita dapat memaknai mengapa “goncangnya kuasa-kuasa langit” menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan kebingungan. Suatu masyarakat manusia akan goncang dan berubah menjadi “chaos” (kacau balau tidak beraturan) bilamana nilai-nilai hormat terhadap martabat kemuliaan manusia, keadilan, cinta kasih, kebenaran tidak lagi diperhatikan dan diruntuhkan. Situasi “chaos” seperti itu akan menimbulkan hilangnya rasa damai, aman, dan nyaman bagi masyarakat manusia. Dalam situasi “chaos” seperti itu sangatlah sulit menemukan nilai kesetiaan. Orang akan hidup dalam suasana saling curiga-mencurigai sehingga ajakan-ajakan untuk pembaharuan dan perbaikan pun (tuntunan dan bimbingan) kurang mendapatkan tanggapan. Apakah masyarakat kita sedang berjalan ke arah “chaos” seperti itu?. Situasi “chaos”, yakni “goncangnya kuasa-kuasa cinta kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian” seperti itulah yang  mencemaskan, dan membingungkan manusia. Situasi “chaos” seperti itu muncul bukan karena hukuman Allah terhadap manusia, tetapi karena manusia sendiri yang menciptakannya. Manusia sendirilah yang “menggoncangkan kuasa-kuasa langit” karena upaya dan jerih payahnya untuk lebih menyejahterakan diri sendiri. Egoisme manuslalah yang membuat” kuasa-kuasa cinta kasih, keadilan, kebenaran, kedamaian” digoncangkan dan dilemahkan.
Lukas, dalam Injilnya mengajak para pembacanya (dan pendengarnya) “ bila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat” (ay.28)
“Bangkit dan mengangkat muka” artinya tetap mengarahkan hidup pada langit, matahari, bulan dan bintang; yakni mengarahkan hidup pada kemuliaan dan keadilan Allah yang senantiasa memancarkan kehangatan cinta kasih dan kebenaran-Nya, dan yang akan membangkitkan rasa damai dan kesetiaan berkat bimbingan dan tuntunan Roh Kudus-Nya.
Selanjutnya Lukas menekankan bahwa agar dapat senantiasa “bangkit dan mengangkat muka” mengarahkan hidup pada kemuliaan dan keadilan Allah tersebut, para pembacanya (dan pendengarnya) diajak untuk berjaga-jaga terhadap tipuan-tipuan diri sendiri. Kita diajak untuk “waspada” terhadap tipuan sikap egoisme kita sendiri.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”