MIMPI SI TUKANG RUMPUT


Setiap kali bepergian saya selalu melihat pengalaman yang baru yang berkaitan dengan kenyataan hidup. Dan dari sekian pengalaman itu mata hati saya entah kenapa, lebih berjodoh dengan kemiskinan, kemelaratan, keprihatinan, kesedihan dan jeritan pilu.
Suatu kali saat pulang makan siang dari restoran Jepang bersama dengan teman pastor dalam rangka merayakan Fathers Day, saya melihat sepasang suami isteri berpeluh keringat memotong rumput di sepanjang jalan. Hari begitu panas terik, debu beterbangan, dan asap dari ratusan dan bahkan ribuan mobil menjadi campuran menu hirupan nafas mereka. Dan rumput yang terpotong kadang tercampak ke muka mereka. Kulit mereka hitam legam dan gosong karena sengatan matahari dan itu mencatat bahwa mereka memotong rumput setiap hari di sepanjang jalan yang dilalui oleh ribuan pengendara. Namun tidak satupun dari pengendara itu menoleh, apalagi menyapa si tukang rumput yang sibuk dengan kerjanya. Memang,, pengendara barangkali tidak melihat atau pura-pura tidak melihat. Di tambah lagi kaca mobil yang tertutup dan hitam, mungkin menutup mata dan hati akan terhadap mereka.
Dua kenyataan bertolak belakang antara pengendara mobil dan si tukang rumput:, AC versus sinar matahari, aroma parfum di dalam mobil versus aroma asap mobil, pakayan necis versus pakayan buruh kasar yang bercampur minyak mesin potong rumput, dan jaminan hidup versus kecemasan hidup.

Sejenak saya singgah di toko kecil yang tidak jauh dari tempat mereka memotong rumput. Saya beli empat coca-cola, 2 untuk setiap orang. Saat itu, mereka sedang istirahat sambil santap siang. Saya teringat dengan apa yang baru saja kami nikmati di restoran Jepang. Saya malu menceritakan, tetapi intinya tidak ada titik temu antara apa yang mereka makan dengan apa yang kami nikmati. Saya melihat mereka makan tanpa ada minuman. Barangkali sudah habis mereka minum saat kerja berhubung hari sangat panas. Tetapi kekurangan yang ada tertutupi dengan doa makan mereka yang sangat indah.

Saya berikan coca-cola dingin itu. Dengan penuh suka ria mereka menyambut nya. Itulah awal dari persahabatan kami. Suami isteri ini mengisahkan perjuangan mereka menata hidup dan menyekolahkan dua anak mereka yang kuliah di Universitas terkenal. Mereka digaji oleh pemerintah setempat memotong rumput namun dengan gaji yang sangat, sangat minim, namun, itu mereka syukuri karena mampu membantu mereka menggerakkan bahtera keluarga mereka sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti
Sejenak ku amati suami isteri ini. Tidak ada keluhan, tidak ada rasa pesimis, malah rasa bangga dan ucapan syukur. Anak tukang rumput kuliah di universitas. Namun saya berbisik ke lubuk hati terdalamku, Mereka sangat menderita, terutama isterinya yang harus menerjang badai kehidupan, memotong rumput yang sepantasnya bukan untuk diri dan kaumnya. Mereka bermimpi kalau anak mereka berhasil dan diwisuda mereka akan membeli mesin potong rumput yang baru sehingga mereka bisa kerja lebih cepat dan ringan. Saya terharu mendengar mimpi mereka itu bukannya mengharapkan mobil atau rumah yang mewah atau tabungan melimpah tetapi hanya mesin potong rumput yang baru.

Para sahabatku terkasih, barangkali kamu punya kerja mapan, ekonomi bagus, materi mumpuni, mobil ada, rumah bagus, tabungan melimpah, tetapi apakah kamu punya harapan akan hari esok seperti si tukang rumput? Barangkali kita juga punya keluarga yang mampu dan siap membantu bila anda membutuhkan namun apakah kamu tetap punya rasa optimis dengan lingkaran hidupmu atau kecemasan melanda dirimu. Atau kamu selalu mengeluh kurang banyak, terlalu sedikit. Apakah sering menggerutu kurang puas.

Adakah kita seperti si tukang rumput tetap bersyukur dalam keadaan dan realitas yang mereka alami dan miliki? Mereka bersyukur dalam kekurangan, bergembira dalam keletihan dan menerima apa adanya namun mereka tetap bermimpi indah dan optimis di masa depan. Mungkin kita mempunyai banyak, memiliki banyak, tetapi kita miskin akan rasa syukur. Mungkin kita tidak pernah cemas akan hari esok tetapi apakah kita pernah menysukuri itu? Si tukang rumput, tidak memiliki, tidak mempunyai, tetapi mereka kaya akan ucapan syukur.

Janganlah cemas akan hari esok karena Allah tetap memeliharamu. Bersyukurlah senantiasa dalam segala hal maka Allah akan menambahkan apa yang kamu inginkan. Lihatlah burung-burung di udara, mereka tidak menanam, tidak menuai, tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya dalam lumbung. Meskipun begitu BapaMu yang disurga tetap memelihara mereka. Bukankah kalian lebih berharga dari burung-burung di udara (Mateus 6:26).Oleh Pastor: Yos’Ivo OfmCap .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”