Berdoa seperti yang Yesus ajarkan

Renungan Hari Minggu Biasa XVII/ Tahun C
Inspirasi Bacaan dari :
Kej. 18:20-33; Kol 2:12-24; Luk. 11:1-13
Oleh Pastor Paulus Tongli, Pr

Seorang pengusaha yang sedang membutuhkan uang 1 milliar untuk sebuah proyek tertentu, suatu hari masuk ke dalam sebuah gereja untuk berdoa, memohon petunjuk dari Tuhan, bagaimana ia dapat memperoleh uang sebesar itu. Di sebelahnya berlutut seorang bapak yang sedang kusuk berdoa sambil berbisik. Pengusaha ini terganggu dengan doa sang bapak tadi dan mulai menguping isi doanya. Orang itu sedang momohon Rp 200.000 untuk membayar utangnya yang hari itu jatuh tempo. Pengusaha itu mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang Rp 200.000 dan menggenggamkannya ke tangan bapak itu. Karena gembira bapak itu segera berdiri dan meninggalkan gereja itu. Pengusaha itu kemudian menutup matanya dan berdoa, “Tuhan kini Engkau dapat mendengarkan doaku dengan penuh perhatian …” 

Contoh ini mau mengungkapkan banyak hal kepada kita menyangkut doa orang Kristen. Secara positif, contoh ini mengungkapkan bahwa para pengusaha pun masih tetap meluangkan waktu untuk berdoa. Tetapi ceritera ini pun secara tidak langsung mengajarkan kita tentang disposisi atau sikap batin yang benar di dalam doa-doa kristiani. Di dalam contoh di atas tampak bahwa Allah ditempatkan sebagai yang begitu agung, sehingga tidak boleh ada gangguan bila sedang berbicara dengan-Nya, dan Ia pun tidak suka mendengarkan bila ada orang yang berbicara bersamaan. Apakah itu merupakan disposisi yang benar untuk doa kristiani? Permintaan para murid Yesus “Tuhan, ajarilah kami berdoa” (Luk 11:1) dapat dimengerti sebagai sebuah permintaan akan disposisi yang tepat untuk doa kristiani. Jawaban yang diberikan oleh Yesus kepada mereka dapat dirangkum di dalam satu kalimat: sikap batin yang tepat untuk doa kristiani adalah sikap batin seorang anak di hadapan ayahnya. 

Bacaan injil Luk 11:1-13, terdiri dari permintaan para murid dalam ayat 1 dan jawaban yang panjang dari Yesus dalam ayat 2-13. Jawaban Yesus mulai di dalam ayat 2 dengan kata-kata, “apabila kamu berdoa, katakanlah: ‘Bapa’” dan berakhir di dalam ayat 13 dengan kata-kata, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga!”

Dengan segera tampaklah bahwa berdoa, menurut Yesus, terjadi di dalam hubungan anak-bapa. Dengan kata lain, doa merupakan suatu urusan yang didasarkan atas hubungan kekeluargaan dan cinta. Yesus menggunakan gambaran bapa di sini untuk mengoreksi gambaran yang dominan tentang Allah sebagai bos atau raja yang lebih dihormati daripada dicintai. Berbicara tentang Allah sebagai bapa memiliki maksud dan implikasi yang sama bila berbicara tentang Allah sebagai ibu. Kedua penggambaran itu mengungkapkan suatu relasi yang didasarkan atas keintiman dan kedekatan dan bukan atas kekuatan dan kekuasaan. 

Berdoa sebagai seorang Kristen adalah menempatkan diri kita di dalam situasi di mana kita memandang Allah sebagai bapa (atau ibu) dan berbicara kepadanya sebagai anak-Nya. Bila anak-anak berbicara kepada orangtuanya, pastilah ada cara yang tepat. Mereka fokus pada hal yang mereka inginkan dan mengungkapkan di dalam kata-kata dan sikap tubuh apa yang mereka rasakan di dalam hati. Pernah ada seseorang yang datang protes kepada seorang imam karena imam tersebut salah membaca doa. Imam itu membaca “Allah Bapa yang Mahakasih” padahal tertulis “Allah Bapa yang Mahakuasa”. Mungkin orang itu bermaksud untuk sekedar guyon dengan pastornya, tetapi bila itu serius, tampaklah bahwa gambaran Allah yang dimiliki orang itu adalah menempatkan Allah sebagai hakim agung atau yang sangat teliti mendengarkan kata-kata yang terungkap dan karenanya orang harus menggunakan hanya “kata-kata yang tepat”. Tentu ia tidak berpikir tentang Allah sebagai “Abba” (Bapa yang penuh cinta), yang untuk menyapa-Nya, kita tidak memiliki rumusan kata-kata yang tepat. 

Anak-anak mempercayai dan mengandalkan orangtuanya, dan orangtua tahu persis apa yang diinginkan anaknya. “Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking?” (ay 11-12). Anak-anak Allah semestinya juga datang kepada Allah dengan cara seperti itu, dengan penuh kepercayaan dan harapan, karena mengetahui bahwa Allah akan selalu melakukan untuk mereka apa pun yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Anak-anak, seperti sahabat yang meminta roti pada tengah malam, tidak mengenal kata tidak. Karena sekalipun mendapatkan jawaban tidak, ia akan tetap datang pada hari berikutnya dengan permintaan yang sama. Yesus mengajar kita, sebagai anak-anak Allah, untuk menunjukkan roh ketekunan di dalam doa. Ia menekankan hal ini dengan mengambil perbandingan sahabat yang mengetuk pintu tengah malam untuk meminta roti bagi tamunya. Ia tidak mengenal kata tidak. 

Memanjatkan doa seperti dalam hubungan bapa-anak mengingatkan kita bahwa doa adalah suatu aktivitas yang mengalir dari relasi. Kita tidak bisa belajar bagaimana berdoa dengan lebih baik, tetapi kita menjadi pendoa yang baik bila relasi atau hubungan kita dengan Allah menjadi semakin intim seperti bapa dengan anak. Jadi bila anda ingin memperbaiki kualitas doa anda, perbaikilah relasi anda dengan Allah, Bapa kita. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”