Ketamakan

oleh: St. Yohanes Maria Vianney

Ketamakan adalah cinta yang berlebihan akan barang-barang duniawi.
Ya, anak-anakku, ketamakan adalah cinta yang tak-teratur, cinta yang fatal, yang membuat kita lupa akan Allah yang baik, doa, sakramen-sakramen, karena kita mencintai barang-barang dunia ini - emas dan perak dan harta milik. Seorang yang tamak adalah bagaikan seekor babi, yang mencari makanannya dalam lumpur, tanpa peduli darimana makanan itu berasal. Membungkuk ke tanah, ia tidak memikirkan yang lain selain dari bumi; ia tak lagi memandang ke surga, kebahagiannya sudah tak lagi di sana. Seorang yang tamak tak melakukan suatupun yang baik hingga sesudah akhir hayatnya. Lihatlah, betapa rakus ia mengumpulkan harta kekayaan, betapa dengan penuh hasrat ia menyimpannya, betapa berduka ia apabila ia kehilangannya. Di tengah-tengah kekayaannya, ia tidak menikmatinya; ia, seolah, tercebur ke dalam sungai, namun mati kehausan; berbaring di atas timbunan jagung, namun mati kelaparan; ia memiliki segalanya, anak-anakku, namun tak berani menyentuh apapun; emasnya adalah benda yang sakral baginya, ia menjadikannya allahnya, ia memujanya….
Wahai anak-anakku! betapa banyak pada masa sekarang ini orang-orang yang menjadi penyembah berhala! betapa banyak yang lebih memikirkan mencari keuntungan daripada melayani Allah yang baik! Mereka mencuri, mereka menipu, mereka maju ke meja pengadilan bersama rekannya, mereka bahkan tidak menghormati hukum Tuhan. Mereka bekerja pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya: tak ada yang salah bagi tangan-tangan mereka yang rakus dan serakah. Umat Kristiani yang baik, anak-anakku, tidaklah memikirkan tubuh mereka, yang akan berakhir dengan kebinasaan; mereka hanya memikirkan jiwa mereka, yang abadi. Sementara mereka ada di dunia, mereka menyibukkan diri dengan jiwa mereka saja. Jadi, kalian lihat bagaimana tekunnya mereka dalam Ibadat Gereja, bagaimana khusuknya mereka berdoa di hadapan Allah yang baik, bagaimana mereka menguduskan hari Minggu, bagaimana mereka khidmad dalam Misa Kudus, betapa bahagianya mereka! Hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun tak ada artinya bagi mereka; mereka melewatkannya dengan mengasihi Allah yang baik, dengan mata mereka tertuju pada kekekalan....
Melihat kita begitu acuh tak acuh terhadap keselamatan kita, dan begitu sibuk dalam mengumpulkan timbunan lumpur, tidakkah orang akan berkata bahwa kita tidak akan pernah mati? Sungguh, anak-anakku, kita bagaikan orang-orang yang, sepanjang musim panas, menimbun banyak persediaan labu, melon, untuk suatu perjalanan yang panjang; tetapi setelah musim dingin, apakah yang masih tersisa? Tidak ada. Demikian pula, anak-anakku, apakah yang masih tersisa dari segala kekayaannya itu bagi seorang yang tamak, ketika sekonyong-konyong maut menjemput? Selembar kain penutup, beberapa bilah papan, dan keputusasaan karena tak dapat membawa serta segala emas bersamanya. Orang-orang kikir biasanya mati dalam keputusasaan semacam ini, dan membayar dalam kekekalan kepada iblis atas dahaga mereka yang tak terpuaskan akan kekayaan. Orang-orang kikir, anak-anakku, terkadang bahkan telah dihukum di dunia ini.
Suatu ketika, Santo Hilarion pergi mengunjungi biara-biara yang ada di bawah kepemimpinannya dengan diikuti sejumlah besar pengikut. Mereka tiba di kediaman seorang pemilik kebun anggur yang kikir. Sementara mereka datang mendekat, mereka mendapati para pengawas di segala penjuru kebun anggur yang melempari mereka dengan batu-batu dan bongkah-bongkah tanah agar jangan mereka menyentuh anggur. Orang kikir ini segera dihukum setimpal, sebab pada tahun itu juga ia menuai jauh lebih sedikit anggur dari  biasanya, dan air anggurnya berubah menjadi cuka. Seorang pemilik kebun anggur yang lain, bernama Sabbas, sebaliknya memohon kepada St Hilarion untuk datang mengunjungi kebun anggurnya dan mencicipi buah-buah anggur segar. St Hilarion memberkati anggur dan mengirimkannya juga kepada para pengikutnya yang berjumlah tigaribu orang, yang semuanya memuaskan rasa lapar mereka; duapuluh hari kemudian, kebun anggur itu menghasilkan tigaratus air anggur, dan bukan sepuluh seperti biasanya. Marilah kita mengikuti teladan Sabbas dan bersikap bijaksana; Allah yang baik akan memberkati kita, dan setelah memberkati kita di dunia ini, Ia akan juga mengganjari kita di kehidupan selanjutnya.  
sumber : “Catechism on Avarice by Saint John Vianney”; www.catholic-forum.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”