SOLIDARITAS

Hari Minggu Biasa XV / Tahun C
Oleh Pastor Sani Saliwardaya, MSC
Inspirasi Bacaan dari :
Ul. 30:10-14; Kol. 1:15-20; Luk. 10:25-37

Akhir-akhir ini perhatian kita dirahkan kepada BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Suatu program dari pemerintah yang bercorak sementara untuk membantu masyarakat miskin terkait dengan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). BLSM, menurut pihak pemerintah, didasarkan pada model subsidi silang. Artinya, subsidi pemerintah untuk BBM dikurangi, dan hasil pengurangan itu dialokasikan untuk membantu masyarakat miskin. BLSM ini tidak berbeda jauh dari program sebelumnya yang disebut BLTM (Bantuan Langsung Tunai Masyarakat), hanya berganti nama saja. Menurut berita yang saya dengar total dana yang dialokasikan untuk BLSM adalah sekitar 9,7 trilyun rupiah dan akan dibagikan kepada sekitar 29 juta penduduk miskin di Indonesia.

Tetapi bagaimana realisasi pelaksanaan BLSM itu di lapangan?


Beberapa hari ini banyak acara TV yang menayangkan pelaksanaan penyaluran dana BLSM. Tampaknya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Intinya, BLSM tidak tepat sasaran. Ada orang yang tidak berhak menerima BLSM tetapi tokh dia bisa menerima, dan sebaliknya, ada yang harusnya menerima tetapi dia tidak mendapatkan bagian dengan pelbagai alasannya.


Saya pernah menonton berita TV di mana ditayangkan ekspresi wajah orang-orang yang menerima BLSM sebanyak Rp.300.000.- dan orang-orang yang tidak menerima BLSM. Beberapa ibu penerima BLSM itu tampak memakai kalung emas dengan liontinnya; ada juga yang memakai gelang emas; ada juga yang sedang sms-an dengan menggunakan HP; dan tampak pula beberapa orang laki-laki masih agak muda dengan badan agak kekar ikut ambil bagian menerima BLSM padahal mereka datang ke tempat pembagian BLSM dengan mengendarai sepeda motor. Di tempat lain ditayangkan pula beberapa orang tua beralas kaki sandal jepit yang tidak mendapatkan BLSM, meskipun sudah antri sejak pagi. Orang-orang tua ini rupanya kalah berdesak-desakan, sehingga ketika tiba di tempat pembagian dana BLSM dikatakan oleh panitia bahwa dana sudah habis. 


Yang membuat hati saya tersentak kaget, karena jengkel dan marah terhadap penerima BLSM yang tampaknya “bukan masyarakat miskin” itu ialah ketika diwawancarai mereka masih bisa tertawa puas karena berhasil mendapatkan dana BLSM sambil berkata, “syukur alhamdull’illah, saya bisa mendapatkan BLSM untuk menambah biaya sekolah anak saya!”. 
Menurut saya, kata “syukur alhamdull’illah” sangat tidak layak diucapkan oleh orang-orang semacam ini. Mereka, bagi saya, tidak ubahnya seperti para perampok yang mengambil barang yang bukan haknya. Bahkan mereka melebihi perampok sifat jahatnya. Para perampok masih memilih korbannya, yakni orang-orang berduit; tetapi mereka justru merampok dana BLSM dari orang-orang yang lebih membutuhkan dari pada mereka. Mata fisik mereka tidak bisa melihat lagi orang lain yang lebih membutuhkan dari pada mereka. Nah, kalau mata fisiknya saja sudah “buta”, apalagi “mata hati”-nya. Mereka adalah orang-orang yang telah “mati” hati nuraninya. Orang-orang egoistik seperti ini tidak lagi memiliki rasa solidaritas dengan yang lain.


Bacaan Injil hari ini berkisah tentang “Orang Samaria yang baik hati”. Kisah orang Samaria merupakan cerita perumpamaan dalam Kitab Suci yang sangat familiar bagi kita. Melalui perumpamaan ini Yesus hendak memberikan jawaban kepada seorang ahli Taurat yang hendak mencobainya dengan pertanyaan, “siapakah sesamaku manusia” (Luk. 10:29). Bagi orang Yahudi pada umumnya, ruang lingkup sesama sangatlah terbatas, yakni kaum keluarga dan kerabat dekat (orang tua, saudara kandung) serta orang-orang yang menjadi anggota keluarga karena ikatan perkawinan. Bagi mereka, sesama dalam arti inilah yang pertama-tama wajib dibantu bila mengalami kesulitan atau malapetaka. Dalam arti ini, bisa dimengerti mengapa sang imam yang melihat orang yang dianiaya itu tidak menolongnya (ay.31), demikian juga orang Lewi (ay.32). 
Melalui perumpamaan ini, Yesus membuka wawasan orang Yahudi mengenai konsep sesama tersebut, yakni “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya (orang yang menderita)” (ay.37). Belas kasihan itu justru ditampilkan dalam diri orang Samaria (ay.33), yang diberi cap sebagai pendosa tetapi sebenarnya justru merupakan kelompok orang yang tidak terikat pada kelompok-kelompok. Perumpamaan ini juga hendak mengatakan pula tentang sikap solidaritas yang tanpa memandang perbedaan-perbedaan yang ada. Dasar dari solidaritas adalah rasa belas kasih. 

Dalam bacaan II, solidaritas yang didasarkan pada belas kasih ditunjukkan justru oleh Allah sendiri. “Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia (Yesus), dan oleh Dialah (Yesus), Ia (Allah) memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi maupun yang ada di sorga, sesudah Ia (Allah) mengadakan perdamaian oleh darah salib Kristus” (Kol. 1:19-20). Solidaritas kasih Allah terhadap Yesus, dan yang kemudian Yesus terhadap seluruh ciptaan, telah membawa keselamatan, kedamaian. Solidaritas kasih inilah yang membawa persatuan bagi seluruh ciptaan.


Sebagai pengikut Kristus, kita sudah mengenal solidaritas kasih Allah melalui pewartaan Yesus dan dalam sikap-sikap serta cara-cara pelayanan Yesus. Melalui dan dalam Yesus, solidaritas kasih Allah menjadi sangat dekat dengan kita; bukan sebagai firman yang diperintahkan untuk dilaksanakan, tetapi sebagai firman yang sangat dekat, yakni firman yang ada “di dalam mulutmu dan di dalam hatimu untuk dilakukan” (bdk. bacaan I, Ul. 30:14).

Sebagai orang katolik, semoga kita tidak terlibat dalam rebutan dana BLSM yang bukan menjadi hak kita; semoga kita semakin dimampukan untuk menghidupi dan menghidupkan sikap solidaritas terhadap sesama sebagaimana Kristus telah solider terhadap kita, sehingga semakin banyak orang yang bisa mengalami kedamaian dan keselamatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”