Kemenangan Belas Kasih atas keadilan

Oleh : RD.  Paulus Tongli
Hari Minggu Biasa ke XXIV / Tahun C
Inspirasi Bacaan dari : Lukas 15: 1 - 3

Setelah menceriterakan kisah anak yang hilang, seorang guru sekolah minggu bertanya kepada anak-anaknya, “siapa yang akhirnya berada di dalam situasi yang paling buruk pada akhir cerita?” Salah seorang anak yang hadir angkat tangannya dan menjawab, “sapi yang gemuk”. Tentu jawaban anak pencinta binatang itu benar, tetapi guru itu mungkin mengharapkan jawaban “anak yang sulung”. 

Ada tiga karakter utama dalam perumpamaan tentang anak yang hilang: bapa, anak yang bungsu dan anak yang sulung. Anak yang bungsu itu adalah seorang yang tidak sabar, mudah bosan, gampang berubah pikiran, dan selalu ingin mencoba segala sesuatu. Ia mengambil warisannya, mengembara keliling dunia dan memboroskan seluruh miliknya. Ia adalah representasi para pendosa. Di dalam dosa, orang menghamburkan warisan kemanusiaan dan keilahiannya dan pada akhirnya orang tidak juga menjadi lebih baik dari pada sebelumnya. Dosa menjanjikan hidup yang bahagia, kepuasan dan kegembiraan tetapi pada akhirnya semua yang muncul dari dosa adalah penderitaan, ketidakpuasan, depresi, dan hilangnya kemuliaan yang menjadikan kita anak-anak Allah. Kabar gembira adalah sejauh mana pun seorang pendosa tenggelam ke dalam dosanya, selalu masih tetap ada suara batin di keheningan yang mengundang kita untuk kembali ke rumah Bapa, di mana terdapat kemerdekaan dan kepuasan yang benar. 

Lalu ada bapa yang begitu baik sehingga ia tetap membiarkan anaknya yang tidak jujur itu untuk mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa ia memberikan semua yang muncul dari hak waris anak itu. Kita memiliki gambaran akan Allah sebagai seorang bapa yang sangat tegas dan menuntut kita untuk tetap berada di jalan yang lurus. Gambaran ini sangat jauh dari gambaran Allah yang muncul di dalam perumpamaan ini. Di sini Allah ditampilkan sebagai yang penuh cinta dan belas kasih kepada anak-anakNya, dan yang selalu siap untuk mengampuni, tidak peduli kesalahan apa pun. Jika Allah berhubungan secara demikian dengan kita, maka tampaklah bahwa Allah memiliki kualitas cinta yang penuh kelembutan dari seorang ibu dan juga kualitas cinta yang tegar dari seorang bapa. 

Dan akhirnya ada seorang anak sulung yang mengakhiri ceritera. Mungkin kalau kita mau merumuskan sikap anak sulung tadi dengan satu kata, kita mungkin akan menyebutnya “gentleman”. Ia seorang yang terhormat, konsekuen, pekerja keras, konsisten, disiplin, dan teratur seorang pria sejati. Namun di lain pihak ia menampilkan sikap ketertutupan di dalam diri sendiri atau arogansi, yang biasa diistilahkan sindrom anak sulung. Arogansi, sikap merasa diri lebih baik daripada yang lain, intoleransi berhadapan dengan orang yang tidak sesuai dengan standar kita, ketidakpekaan dan ketidakrelaan untuk mengampuni. Putera sulung itu menunjukkan sifat buruk ini dengan menolak untuk menerima saudaranya yang hilang dan ditemukan kembali itu, sekalipun ada penjelasan dari bapanya dan ajakan untuk ikut bergabung dalam kegembiraan. Baginya ini adalah masalah keadilan, tetapi bagi Allah itu tidak lain daripada egoisme dan ketidakmauan untuk mengampuni. 

Sindrom anak sulung adalah hal yang paling banyak terdapat di antara kita. ingatlah kasus yang menyangkut 3 orang terpidana mati dalam kasus Poso: Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu. Banyak orang menentang eksekusinya dan muncul gerakan untuk membela dan mendoakannya, sementara banyak orang lain yang menuntut eksekusinya dilaksanakan secepat mungkin. Kelompok yang berdoa mengharapkan cinta dan belaskasihan sementara kelompok yang menuntut eksekusi mengharapkan “keadilan”. Perumpamaan tentang anak sulung mengingatkan kita hari ini bahwa bagi Allah cinta dan belaskasihan lebih utama daripada keadilan yang buta. 

Kita sering menolak puritanisme (fanatisme sempit) kekritenan. Orang yang fanatik sangat teliti dalam tuntutan kepatuhan terhadap sikap religious dan moral. Untuk orang yang demikian, keutamaan yang paling utama adalah disiplin. Di pihak lain, menjadi seorang Kristen adalah mengakui dan hidup menurut ajaran Kristus. Di sini keutamaan dasariah adalah cinta dan bela rasa. Sebagai orang-orang Kristen kita percaya akan Allah yang Mahacinta dan berbela rasa. Yesus adalah manusia yang penuh cinta dan bela rasa baik di dalam ajaran-ajaran-Nya maupun di dalam sikap-Nya terhadap orang lain. Tantangan bagi kita orang-orang Kristen dewasa ini adalah bagaimana kita menjadi orang yang penuh cinta dan berbelaskasih, menjadi seperti bapa yang murah hati di dalam perumpamaan kita hari ini, dan tidak seperti anak sulung yang tidak mau kompromi di dalam dunia yang penuh dangan anak-anak hilang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”