“SIAP IKUT YESUS?”

Ada satu masa di mana pemerintah mengirim tidak sedikit orang ke daerah transmigrasi dengan maksud meratakan penyebaran penduduk dan meningkatkan kesejahteraan masyrakat. Untuk program ini, pemerintah menyediakan segalanya; perumahan dan lahan pertanian serta segala yang diperlukan untuk kehidupan bulan-bulan pertama. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang setelah beberapa bulan berada di daerah baru pulang kembali ke kampong asalnya. Mengapa? Sanggupkah anda meninggalkan apa yang padanya hati anda terpaut? Pertanyaan ini sulit dijawab dan ia menempatkan kita pada posisi dilematis. Pengalaman membuktikan bahwa ruang kosong akan tercipta dalam hati kita di saat-saat kita hendak melepaskan, meninggalkan sesuatu. Tidak gampang membuat satu keputusan berhadapan dengan kenyataan ini. Bukankah kita lebih cenderung melekatkan diri pada apa yang menggugah hati kita ketimbang melepaskan apa yang telah menyatu dengan diri kita? Tetapi demi satu nilai yang lebih tinggi kita wajib me-nentukan sikap, membuat putusan. Dan perlu diingat juga bahwa dalam membuat satu putusan kita harus siap menerima konsekuensi dari putusan yang kita ambil karena putusan itu merubah relasi kita dengan dunia. Kenyataan ini menuntut kita untuk memiliki gradasi nilai; dalam arti ada hal-hal yang perlu diutamakan dan ada hal-hal yang mesti diberi perhatian secukupnya. Yang mempersulit kita dalam menentukan sikap adalah konsekuensi dari tindakan yang kita ambil; saat itu kita ditempatkan pada situasi atau....atau. Di sini kesediaan untuk berkorban sangat ditun-tut; tanpa pengorbanan ceritera hidup ini tidak pernah akan berubah. Bila itu kisah seputar para transmigran kita, mungkin suasana ini bisa disejajarkan dengan cuaca hati kita saat berhadapan dengan Yesus. Bertemu dan berhadapan dengan Yesus, kita dihadapkan pada satu pilihan yang tidak gampang karena saat itu kita dituntut untuk menentukan sikap; mengikuti Dia atau mengikuti jalan sendiri, berubah haluan atau tetap menyanyikan lagu lama. Memilih mengikuti Dia, kita harus rela melepaskan segala ikatan hidup dan mengikatkan diri hanya padaNya; berusaha menjadikan hidup dan misiNya, hidup dan misi kita, keha-diran kita harus menjadi representasi kehadiranNya dalam kebersamaan di mana kita ada dan mengais hidup; bukan lagi kita yang hidup melainkan Dialah yang hidup dalam diri kita. Hal ini dikemukakan karena kita cenderung menunjukkan sikap tidak jelas yang membingungkan sesama. Kita mau mengikuti Dia tetapi sulit bagi kita untuk melepaskan cara hidup kita yang lama atau kita tidak sanggup menerima konsekuensi dari tindakan kita. Memilih mengikuti Dia berarti menempatkan diri pada posisi tertentu dengan tanggung jawab yang khas. Kita bersedia berada pada posisi tertentu tetapi kita gagal karena kita tidak siap menerima tanggungjawab posisi tersebut. Bila murninya emas ditentukan oleh ketahanannya berada dalam kobaran api, kesejatian pilihan kita untuk mengikuti Yesus diuji dalam riak keseharian kita. Yesus mengatakan bahwa mereka yang mau mengikuti Dia harus bersedia membenci keluarganya. Permintaan ini merupakan satu per-mintaan yang sulit diterima masyarakat kita yang menjunjung tinggi nilai ikatan kekeluargaan. Bagaimana mungkin kita membenci keluarga kita, bukankah dari sana kita berasal dan untuknya kita rela melakukan apa saja? Yesus tidak menyangkal keeratan ikatan ini. Membenci yang dimaksudkan Yesus adalah sikap mengambil jarak, membebaskan diri dari pengaruh keluarga karena Yesus melihat bahaya yang bisa muncul dari ikatan ini. Keluarga dapat menjadi pendukung utama misi yang sedang kita emban tetapi keluarga juga bisa menjadi penyebab melemahnya sikap kenabian kita. Mengapa KKN sulit diberantas? Karena kita cenderung melihat hubungan darah ketimbang memperhatikan apa yang mesti kita lakukan untuk sebuah kebersamaan yang lebih luas dari sebuah ikatan kekerabatan. Banyak orang gagal melayani publik karena mereka lebih berorientasi pada keluarga. Virus penyakit ini sudah mewabah bukan saja di kalangan awan tetapi juga di kalangan mereka yang menerima panggilan khusus. Keluraga dalam Yesus melampaui hubungan darah. Mengikuti Dia berarti kita harus siap memikul salib. Inilah konsekuensi yang mesti kita hadapi yang sudah harus dipikirkan secara matang sebelum kita membuat satu putusan. Kita perlu berperang dengan diri sendiri karena diri kitalah yang menentukan segalanya.






Mengikuti Yesus, tidak mudah karena jalanNya bukan jalan kita dan keinginanNya begitu sering bertentangan dengan keinginan kita. Tetapi hal ini mesti kita tanggung bila kita mau mengikuti Dia. Membenci keluarga adalah satu hal yang mustahil tetapi membebaskan diri dari dominasi pengaruh keluarga adalah satu hal yang dapat kita jalankan. Yang penting adalah apakah kita bersedia berperang dengan diri kita sendiri? Bila kita sanggup menaklukkan diri kita segala sesuatu menjadi mungkin. Kita akan siap bukan saja untuk menyaksikan hebatnya peristiwa perbanyakan roti dan perubahan air menjadi anggur tetapi juga untuk menjalani saat-saat Getzemani di mana komitmen akan pilihan kita diuji. Bila ini kita lakukan, apapun bentuk salib kehidupan ini, kita akan siap memikulnya.




“Mengikuti Yesus tidak mudah tetapi karena tidak mudah pilihan ini membuat orang menjadi istimewa”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”