Sikap menghadapi kiamat


Oleh: RD. Paulus Tongli 
Hari Minggu Biasa ke XXXIII 
Inspirasi Bacaan: Mal. 4:1-2a; 2 Tes. 3:7-12; Luk. 21:5-19


Menghadapi bahaya misalnya penyakit atau kecelakaan orang bereaksi sangat berbeda-beda. Rasa takut tampaknya merupakan reaksi yang pertama dan utama. Lalu orang berusaha untuk menemukan jalan keluar. Orang-orang optimis mengatakan: semoga tidak terlalu fatal. Orang-orang pesimis mengatakan: matilah saya. Inilah akhir segalanya. 


Juga ketika seseorang tidak secara langsung merasa terancam bahaya penyakit atau kecelakaan, dan hanya mengikuti perjalanan waktu dan sejarah dunia, orang dapat juga sampai pada rasa takut dan reaksi ingin melarikan diri. Umat manusia berkembang begitu pesat dalam hal jumlah, sehingga bahaya kelaparan dan krisis energi tidak dapat dihindari. 

Sumber energi atom tidak akan pernah 100% aman. Kerusakan lingkungan berdampak pertama-tama kepada air dan udara, lalu kepada tanaman dan binatang dan akhirnya kepada manusia. Penganut paham optimisme akan mengatakan: tidak akan terlalu sulit. Selalu akan ada jalan keluar. Seorang pesimistis akan mengatakan: tidak ada lagi masa depan; bahaya akan segera datang, dan manusia tidak bisa lain. 

Bukan baru sekarang, tetapi juga sudah pada zaman Yesus manusia sudah sangat akrab dengan hal-hal yang mengejutkan. Pada zaman Yesus umat manusia sudah mengeluh akan kelaparan, perselisihan, revolusi berdarah dan perang, penyiksaan, kesewenang-wenangan penguasa, pembunuhan dan pemusnahan massal. Yesus bahkan sudah meramalkan yang lebih buruk lagi: penghancuran baid Allah di Yerusalem, suatu bencana yang sangat sulit dipahami. Baid Allah adalah tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Penghancurannya berarti bahwa Allah telah meninggalkan umat-Nya. 

Saudara-i terkasih, apa yang Yesus sabdakan kepada para murid-Nya dan dengan demikian juga kepada kita? Apakah Ia mengatakan: Jangan takut, sekalipun hal itu terjadi, kami tidak akan apa-apa? Atau apakah Ia mengatakan: sekarang saatnya semuanya akan berlalu? Tidak, Yesus justru mengatakan bahwa hal ini semua mungkin akan terjadi atas kita, kita harus memperhitungkannya. Penyakit, kelaparan, penderitaan, penganiayaan, bahkan kematian. Tetapi Ia bukanlah Allah orang-orang mati melainkan Allah orang-orang hidup. Allah dapat menyelamatkan kita seperti Yunus dari perut ikan (Yun 2:11), seperti Daniel dari mulut singa (Dan 6:2-29), seperti anak muda dari dapur api (Dan 3:91-97). 

Menghadapi musibah-musibah yang tak terelakkan, Yesus mengarahkan pikiran kita dari bumi kepada Sang Pencipta langit dan bumi. Apa yang telah Allah ciptakan tidak ditinggalkan-Nya sendirian, Ia pun tidak meninggalkan kita dalam kesalahan dan kelalaian kita, tidak menyerahkan kita kepada kebebasan yang sering kita salah gunakan. Dunia tidak hanya diciptakan oleh Dia, tetapi juga untuk kemuliaan nama-Nya. 

Berhadapan dengan derita yang tak terelakkan, manusia sepanjang zaman bertanya: kapan akhir dunia itu akan datang? Akan ada banyak nabi-nabi palsu, orang-orang yang bahkan merasa mengetahui dengan tepat saat hari kiamat. Yesus memperingatkan: jangan dibingungkan, jangan mengikutinya; jangan disesatkan. Akhir dunia pasti akan datang. 
Namun tiada orang yang mengetahuinya. Hanya Allah yang tahu, kapan episode terakhir di atas panggung dunia ini terjadi, dan kapan tirai ditutup kembali. Setiap saat adalah kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan diri menyongsong datangnya akhir dunia. 

Oleh karena itu Yesus menuntut dari para murid-Nya suatu kombinasi sifat dan sikap antara kerajinan realisme dan kepasrahan kepada Allah; antara keberanian dan kegigihan; tetapi juga harapan yang kokoh bahwa juga kematian dan hari kiamat masih ada dalam genggaman Dia yang di dalam Wahyu Yohanes disebut: „Lihat, Aku menjadikan segalanya baru!” (Why 21:5). 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”