KASIH, BUAH DARI HIDUP TAAT BERAGAMA

HARI MINGGU BIASA VI
Oleh:  P. Fransiskus Nipa, Pr
Inspirasi Bacaan:  Yes. 15: 15-20; 1 Kor.2: 6-10; Mat. 5:17-37
Di salah satu tempat wisata terkenal di Sulawesi ini, terdapat sebuah lukisan yang besar lagi indah. Pada lukisan tsb ada tulisan berbunyi “Damai Itu Indah”; dan sebagai latar belakang dilukislah foto dari ke-5 pimpinan agama, masing-masing mengenakan “pakaian kebesaran” agama ybs. Lukisan tsb dipasang pada gerbang pintu masuk obyek wisata tsb, jadi dapat dipastikan setiap pengunjung melihat lukisan besar itu baik ketika baru saja tiba maupun pada saat keluar meninggalkan lokasi wisata yang dimaksud. Tapi pertanyaan, apa yang dipikirkan para pengunjung ketika memandang lukisan tsb ? Khususnya ketika mereka mengingat pengalaman konkrit hidup harian mereka di mana peristiwa-peristiwa kekerasan seringkali mengatasnamakan atau memakai “label agama”. 

Illustrasi ini dapat membantu kita untuk menangkap pesan dari Sabda Tuhan yang diwartakan Gereja pada Hari Minggu Biasa VI ini. Melalui Mazmur Tanggapan, kita deraskan, Berbahagialah mereka yang hidup menurut Taurat Tuhan, berbahagialah yang berpegang teguh pada perintah Tuhan (Mzm. 119:1). Dan berkenaan Taurat Tuhan, Yesus dalam Bacaan Injil bersabda, “Aku datang bukan untuk meniadakan hukum, melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Yesus datang bukan untuk menghapus atau menggugurkan Taurat pasal demi pasal, apalagi membuat “judicial review”, tidak ! Yesus datang justru untuk memberi daya dan kekuatan baru kepada hukum Taurat yakni hidup baru berdasarkan kasih (Bacaan II).  Mat. 5:19 berbunyi: “… siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah dalam Kerajaan Surga, tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkannya, ia akan menduduki tempat yang tinggi dalam Kerajaan Surga.” Dan sesudahnya, Yesus menegaskan: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga !

Manakah hidup keagamaan para ahli Taurat dan orang Farisi yang disorot dan dikritik keras oleh Yesus ? Hal itu dapat kita lihat dalam 4 (empat) contoh kasus penghayatan hukum Taurat, yang tertera dalam Kel 20:13 dst dan juga Ul 5:17 dst, sebagaimana dijelaskan Yesus yakni larangan membunuh, berzinah, menceraikan isteri dan bersumpah palsu. Larangan-larangan tsb mereka hayati secara “legalistik”. Pasal demi pasal mereka patuhi sebagai “kumpulan dan rangkaian aturan”  saja  tetapi nilai-nilai luhur yang ada di balik hukum tsb mereka abaikan. Terjadilah kemunafikan dan manipulasi besar-besaran. Hukum tidak lagi menjadi “panglima” sebab diatur sedemikian rupa demi egoisme, interesse dan kepentingan tertentu. Fungsi hukum demi bonum commune (kesejahteraan bersama) tidak lagi menjadi orientasi ! Akibatnya, praktek hukum agama tidak lagi mengantar orang untuk berjumpa dengan Tuhan; antara manusia terjadi pemerasan, yang kuat memeras yang lemah. Demikianlah penghayatan hidup dan hukum keagamaan masyarakat Yahudi di zaman Yesus. 

Nah, bagaimana kita manusia beragama hari ini menjalankan “hukum agama” kita dari hari ke hari ? Agama mestinya membawa “atmosfir” kedamaian, kerukunan dan kesatuan umat manusia; bukan benih-benih kebencian ! Dan bagi kita para murid Yesus, Injil hari ini mengingatkan kita agar “hidup  keagamaan kita menjadi lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi”. Kiranya prinsipnya, tak lain dan tak bukan, adalah dari hari ke hari terus bertekun belajar menghidupi semangat Yesus, Sang Guru kita yang adalah KASIH. 

Dahulu kala ada kebiasaan di biara-biara Katolik bahwa para religius sungguh-sungguh berpuasa dan berpantang secara keras selama Pekan Suci. Selama Pekan Suci mereka hanya boleh makan roti dan minum air putih saja. Mereka tidak boleh memasak dan menyiapkan makanan lain, selain roti dan air putih.

Diceritakan bahwa pada suatu hari ada sebuah biara didatangi oleh serombongan peziarah yang sangat lapar dan kehausan. Pembimbing rohani dari biara yang melihat bahwa para peziarah itu sangat lapar dan haus, cepat-cepat memasak dan menyiapkan hidangan yang sederhana untuk para tamunya. Beberapa anggota biarawan muda yang melihat pembimbing rohaninya memasak dan menjamu para tamu itu, merasa perbuatan itu sebagai suatu skandal. Mereka merasa sangat bingung dengan peristiwa itu, lalu mereka keluhkan kejadian itu kepada pemimpin biara. Mereka berkata: “Pembimbing rohani telah melanggar peraturan biara. Ia telah memasak makanan dalam Pekan Suci!”

Pemimpin biara tersenyum berkata kepada biarawan-biarawan muda itu: “Saudara-saudaraku, pembimbing rohanimu memang telah melanggar peraturan biara yang dibuat oleh manusia, namun dengan menjamu para peziarah yang kelaparan dan kehausan itu, ia telah melaksanakan perintah Tuhan”.

Mari dengan hidup “taat beragama” dan dalam suasana yang hangat dari peringatan Hari Valentine (Hari Kasih Sayang), kita tata dan perkuat kesaksian hidup, pelayanan dan pengabdian kita,  sebagai bukti kasih Tuhan kepada umat manusia. Dimana ada kasih, di sana Tuhan hadir !




Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”