Cermati Perkawinan Katolik, Para Hakim Gerejani Berkumpul untuk Diskusi

DI Kota Anging Mamiri Makassar tanggal 1-4 Oktober 2014 lalu baru saja berlangsung pertemuan tribunal perkawinan gerejawi. Dimulai pada hari peringatan St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus dan ditutup pada hari peringatan St. Fransiskus dari Asisi. Sungguh merupakan pertemuan yang diberkati karena diapit oleh dua pesta orang-orang kudus yang sangat menonjol dalam Gereja katolik.

St. Theresia dari Liseaux hanya berusia 26 tahun di dunia ini, demikian pula St. Fransiskus Asisi hanya berumur 46 di dunia ini. Hidup mereka yang singkat di dunia ini telah meninggalkan warisan rohani dan iman yang tetap hidup dan berkembang terus di hati umat Gereja sampai sekarang. Itulah misteri seorang pribadi manusia.

Di mata Allah, setiap manusia sungguh-sungguh mulia dan besar. Misteri kehidupan orang-orang suci menyingkapkan misteri panggilan hidup manusia yang sejati. Mereka menjadi begitu mirip dengan Yesus, Putera Allah yang sudah sudi menjadi manusia sebagai saudara kita. Putera Allah sudah rela menjadi serupa dengan manusia, maka St. Theresia dan St. Fransiskus bisa menjadi begitu mirip dengan Yesus Sang Putera Allah.

Mengikuti sidang tribunal perkawinan dari 13 keuskupan di Indonesia bagian Tengah dan Timur, saya mendapatkan pelajaran berharga bahwa karena setiap orang itu bernilai dan berharga, maka perkawinan yang dilakukan oleh mereka itu juga luhur dan mulia. Perkawinan antara pria dan wanita sebagai pribadi manusia, kalau mengalami masalah, misalnya mempertanyakan keabsahan perkawinan itu dan mengajukan permohonan pembatalan nikah, maka permohonan itu diperiksa dengan teliti.


Kasus itu diselidiki dengan saksama dan dipertimbangkan dengan hati-hati dan dengan doa mohon bimbingan Roh Kudus, supaya benar-benar ada kepastian moral dan yuridis bagi keputusan yang akan diambil.

Dua kali dalam setahun

Sidang rutin dua kali setahun untuk tribunal tingkat ke II regio Indonesia Timur di ikuti oleh anggota tribunal dari keuskupan: Amboina, Atambua, Denpasar, Ende, Jayapura, Larantuka, Makassar, Manado, Maumere, Merauke, Ruten, Weetebula, dan Samarinda.

Dalam menangani permohonan-permohonan pembatalan nikah yang masuk, para hakim Gerejani itu belajar tentang sebab-sebab atau akar masalahnya. Ditemukan bahwa kebanyakan kasus yang masuk adalah perkawinan yang memang tidak lama berlangsung, umumnya usia perkawinan balita (bawah lima tahun).

Tahap perkawinan itu rupanya cukup rawan karena mereka masih dalam tahap penyesuian diri antara kedua pribadi yang berbeda dan juga kesulitan ekonomi, dan kesulitan-kesulitan lainnya biasanya dihadapi oleh keluarga baru. Para hakim Gereja menyadari bahwa tribunal perkawinan itu adalah jalan negatif (via negativa) yang sebaiknya dihindari dan tidak usah dianjurkan. Yang harus ditekankan sebagai jalan positif (via positiva) adalah persiapan perkawinan yang mantap dan kemudian pendampingan pastoral keluarga yang serius.


Tribunal Gereja bisa diumpamakan hanya sebagai tempat pembuangan sampah atau tempat penampungan limbah yang menerima akibat dari bagian hulu yang kurang dipersiapkan dengan baik. Persiapan perkawinan yang kurang baik dan pendampingan pastoral keluarga yang kurang memadahi bisa berujung pada pengajuan memohonan pembatalan nikah dalam Gereja.

Tetapi ironisnya, untuk bagian pembuangan sampah yang sebenarnya tidak perlu ini, ahli hukumnya begitu diperhatikan oleh para uskup dan mereka distudikan sampai S-2 dan S-3 di Roma dan di tempat-tempat lainnya. Namun untuk bagian Persiapan Perkawinan dan Pastoral Keluarga tidak dirasa perlu untuk menjediakan ahli-ahli sampai studi S-2 dan S-3 di Roma dan di tempat lainnya untuk menjadi doktor pemberi persiapan perkawinan dan doktor pendampingan keluaga.

Untuk kedua bidang pelayanan keluarga itu diserahkan saja kepada tim ala kadarnya yang terdiri dari imam atau awam yang rela, masih punya waktu, dan bisa memberikan materi secukupnya. Atau ilmu bidang persiapan perkawinan dan pastoral keluarga memang belum berkembang seperti ilmu pembatalan nikah menurut hukum kanonik? Ini adalah suatu ironi yang perlu disadari dan dicari solusinya bagi semua pihak yang berkepentingan. Semoga Sinode tentang keluarga yang sedang berlangsung di Roma juga melihat masalah ini.

Kesulitan persiapan perkawinan dan pendampingan keluarga bertambah karena pengaruh-pengaruh media komunikasi. Mobilitas manusia dan komunikasi dengan alat-alat yang canggih menyebabkan relasi calon pasangan nikah bahkan yang sudah menikah juga rawan gangguan dan godaan. Alat komunikasi yang seharusnya menjadi sarana ampuh untuk selalu mempererat relasi suami-isteri, justru bisa merusak rumah tangga mereka, bahkan merusah relasi pacaran mereka.

Menyiapkan perkawinan katolik
Mengingat pentingnya persiapan perkawinan yang baik dan benar bagi sahnya nikah katolik, para hakim gereja mengusulkan dibuat pedoman pastoral untuk membuat persiapan perkawinan jauh – dekat – langsung (remota – proxima – immediate). Persiapan jauh itu adalah pendidikan anak-anak sejak usia dini sampai masa sekolah dan kuliah untuk berperilaku moral yang baik dalam kehidupan sebagai seorang pribadi pria dan wanita.

Perisapan dekat dimulai ketika muda-muda sudah menemukan colon pasangan hidupnya dan mulai berpacaran dan bertungan. Kalau mereka dapat menjalankan masa pacaran dan pertunangan yang baik dan benar, sopan dan hormat, maka relasi cinta meraka akan lebih matang, kuat dan jujur. Masa pacaran sering diisi dengan tidak benar sehingga banyak perkawinan “terpaksa” harus dilakukan karena pihak wanita sudah mengandung. Nikah yang “terpaksa” adalah tidak sah menurut hukum kanonik.


Tidak perlu disebutkan kanonnya di sini. Sebab ada 12 halangan nikah yang bisa membatalkan perkawinan katolik kalau halangan itu ada dan tidak dihilangkan sebelum perkawinan diteguhkan.

Romo Dr. Moses Komela Avan Pr dari Keuskupan Agung Samarinda, yang hadir juga dalam pertemuan itu, sudah menguraikannya dalam bukunya tentang Pembatalan Perkawinan, terbitan Kanisius tahun 2014.

Untuk persiapan langsung atau preparatio immediata yang secara konkret berarti KPP (Kursus Persiapan Perkawinan) dan penyeledikan kanonik, para pastor peneguh nikah perlu benar-benar mendapatkan jaminan dari kedua calon mempelai tentang tidak adanya halangan satupun yang bisa membuat nikah tidak sah. Mereka harus mendapatkan penjelasan tentang semua jenis halangan nikah dan tidak ada satupun yang boleh disembunyikan dan dikecualikan.

Tidaklah cukup hanya dibacakan dalam pengumuman nikah di Gereja kelimat ini: “Barangsiapa mengetahui halangan-halangannya bagi sahnya nikah yang akan diteguhkan ini, mohon segera membaritahukan pastor paroki…”.


Pastor peneguh nikah sendiri harus berusaha mendapatkan kepastian bahwa tidak ada satupun halangan yang bisa menyebabkan nikah itu nantinya tidak sah. Dan itulah perlunya penyelidikan kanonik dan juga kKP yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Perhatian kepada keluarga katolik yang bermasalah dan mengajukan kasus perkawinannya kepada Gereja, menurut Pastor Jan van Paassen, MSC (misionaris Belanda yang sudah berusia 83 tahun) adalah bagaikan “domba yang ke-100”. Namun untuk domba yang ke-100 itulah Yesus meninggalkan yang 99 ekor, dan pergi mencari domba yang hilang itu. Setelah ditemukan, Yesus memanggulnya di atas pundak-Nya.

Kredit foto: Dok. Romo Albertus Sujoko MSC (Seminari Pineleng, Manado, Sulut)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”