SEORANG IMAM KATOLIK SELAMA MASA PENDIDIKAN

Image result for SEORANG IMAM KATOLIK MAKASSAR
Seandainya menjadi imam Katolik (biasa dikenal dengan panggilan: Pastor, Pater, Padre, Romo) cukup hanya dengan pergi ke Roma, saya tidak perlu menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh tahun pendidikan dan persiapan untuk menjadi Pastor. Saya cukup menyiapkan sejumlah uang untuk mengurus paspor, membeli tiket pergi-pulang dan biaya akomodasi. Biar tidak lulus SMA, tapi pulang-pulang dari Roma, sudah dapat gelar Pastor. Asyik! Lebih asyik lagi kalau dibiayai pemerintah melalui dana APBN untuk ‘jadi Pastor’ di Roma. Gratis coy! Kalau tidak kebagian dana dari pemerintah, ya pinjam uang dulu, baru ke Roma, yang penting jadi Pastor. Halal! Hore! Tapi ternyata tidak semudah itu menjadi seorang Pastor. Pastor bukanlah gelar yang disematkan karena keturunan atau karrena sudah pergi berziarah ke Roma. Menjadi pastor adalah sebuah Panggilan Ilahi.
Tahukah anda bahwa menjadi imam Katolik (Pastor, Pater, Padre, Romo) membutuhkan waktu dan proses yang panjang? Berikut ini saya sharingkan pengalaman saya selama pembinaan dan pendidikan menjadi seorang Pastor dan bekal-bekal yang saya peroleh, bahwa pastor bukan sekedar jabatan atau profesi, melainkan sebuah Panggilan hidup. O iya, perkenalkan, saya seorang Imam dari Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF), propinsi Kalimantan.
Untuk menjadi seorang Pastor diperlukan waktu yang lumayan lama; sembilan tahun kalau cepat, sepuluh tahun kalau cukup, atau belasan tahun lebih bagus (terhitung dari lulus SMA atau sederajat atau sudah kuliah). Bahkan setelah menjadi Pastor, masih harus belajar lagi. Kok lama banget sih? Bisa gundul kepala ini! Iya, karena menjadi Pastor bukan soal waktu atau jabatan, melainkan soal panggilan dan pelayanan. Dan panggilan itu bukan dari gereja atau umat atau karena punya banyak uang, tetapi proses akan menunjukkan bahwa panggilan itu berasal dari Tuhan.
Kalau panggilan itu dari Tuhan, sekali lagi kalau dari Tuhan, Tuhan mau Pastor mewartakan warta gembira bukan warta duka, warta cinta kasih bukan kebencian, warta persatuan bukan perpecahan, warta kedamaian bukan perang.
Image result for SEORANG IMAM KATOLIK MAKASSARLama memang menjadi Pastor. Tapi selama ini, saya dan para Pastor tidak pernah mengeluh akan lamanya persiapan. Justru malah kalau bisa mau lebih lama agar lebih matang. ‘Ojo kesusu,’ kata pembimbingku dulu.
Lamanya waktu persiapan menjadi Pastor dimaksudkan agar seorang Pastor memiliki pengetahuan yang luas bukan kerdil atau picik, pemahaman yang menyeluruh bukan setengah-setengah atau idiot, kepribadian yang matang bukan suam-suam kuku atau asal nyerocos, memiliki tutur kata kedamaian seorang pemuka agama bukan provokator atau penghasut umat untuk demo atau bahkan perang.
Karena menjadi imam berarti menjadi pelayan. Imam bukan menjadi lahan mencari popularitas atau kekayaan, melainkan panggilan untuk melayani sesama tanpa memasang TARIF pelayanan atau kotbah. Imam menjadi pembawa damai dan harapan, bukan mengajak orang untuk rusuh dan demo sana-sini.
Selama waktu persiapan kami tidak perlu ke Roma atau Yerusalem atau malah ke Israel segala. Begini kisahnya. Sebelum memasuki kuliah diperlukan waktu minimal dua tahun sebagai pengolahan rohani dan kematangan kepribadian; mengolah luka batin dan memurnikan motivasi panggilan menjadi imam. Masa pengolahan ini disebut dengan masa Postulat/ Kelas Persiapan Atas (KPA) selama satu-dua dan dilanjutkan ke masa Novisiat (Tahun Orientasi Rohani) selama satu-dua tahun juga. Baru setelah itu melanjutkan ke jenjang kuliah Filsafat Teologi. Kuliah Filsafat-Teologi ditempuh selama 4 tahun, dilanjutkan dengan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) selama 1-2 tahun, lalu kembali melanjutkan study program Imamat dan atau S2. Setelah melanjutkan program imamat, barulah kami ditahbiskan menjadi diakon dan menjalani praktek Diakon selama enam bulam-setahun. Akhirnya baru ditahbiskan menjadi seorang imam.
Selama berada di bangku kuliah, tidak hanya ilmu Filsafat-Teologi atau Kitab Suci saja yang dipelajari. Kami belajar tentang ilmu yang lain: Pancasila dan kebhinekaan, Psikologi, Moral Hidup, berbagai Bahasa Internasional, Seni Musik, ilmu-ilmu Social-Antropologi, Politik, dan ilmu-ilmu keagamaan: Hinduisme, Budhaisme, Protestanisme dan Islamologi. Holistic! Bukan berarti kami ahli dalam segala bidang. Tidak! Tetapi setidaknya kami paham. Dan kalau paham, kami bisa melihat realitas dan kebenaran dari berbagai sudut pandang yang lebih menyeluruh.
Tidak hanya belajar di ruang kuliah, kami juga mengadakan praktek dan penelitian di lapangan, berdialog dengan orang beragama lain, hidup bersama orang miskin, live in di Pondok Pesantren dan pemukiman orang miskin, praktek di rumah sakit dan perusahan-perusahan sebagai buruh, mengunjungi keluarga-keluarga baik yang seagama maupun yang tidak seagama. Di kampus, kami terlibat dalam organisasi kampus, olah raga dan kesenian antar fakultas dan Perguruan Tinggi, diskusi dan debat dll.
Kami hidup dalam seminari (asrama). Dan sistim pembinaan dan pendidikan di seminari tidak hanya mengarahkan kami menjadi seorang Pastor, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seminari kami tidak pernah tertutup. Siapapun bisa berkunjung atau bersilahturami. Kegiatan-kegiatan di seminari juga melibatkan pihak luar, bahkan orang yang beragama lain yang ingin berkontribusi, kami selalu terbuka. Misalnya, memberi seminar, mengajari hal-hal praktis dll. Ya, begitulah kami! Setelah sekian lama persiapan, baru kami ditahbiskan menjadi imam.
Lamanya waktu menjadi seorang imam bukan masalah. Karena semakin lama, kami semakin mengenal dunia. Wawasan kami semakin terbuka akan realitas di sekitar dan memahami kebenaran secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong.
Itulah sebabnya menjadi imam Katolik, kami tidak harus pergi ke Roma, tetapi pergi ke saudara-saudara dan lingkungan sekitar untuk mengenal dan memahami kehidupan sekitar secara utuh. Kami dibekali ilmu pengetahuan dan keahlian yang banyak agar memahami realitas secara utuh dan menjadi pembawa damai, tidak menjadi imam yang radikal, yang gagal paham, yang hanya berbicara karena mau mencari keuntungan material.
Kami dibekali berbagai ilmu dalam kurun waktu yang lama agar di hadapan umat, kami tidak mengajari umat untuk membenci orang lain, karena orang lain adalah sesama manusia. Kita sepatutnya saling mencintai! Ilmu Kitab Suci dan Filsafat-Teologi yang kami pelajari dilengkapi dengan ilmu-ilmu yang lain agar pemikiran, pemahaman, analisa dan pengajaran kami seimbang, menyeluruh, membumi dan membawa dampak bagi bonum commune (kesejahteraan bersama).
Lama memang menjadi imam, tapi di situlah bedanya….  ***
Di tulis oleh: Pastor Yoseph Pati Mudaj, MSF

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu

Apakah makna orang Katolik memasang lilin di depan Patung Yesus atau Maria?

“DIPERLENGKAPI UNTUK SALING MELENGKAPI DI TENGAH KEANEKARAGAMAN”